Jamanku SMA dulu bisa dibilang berakhir dengan tidak indah. Tak ada wisuda layaknya seremonial perpisahan ala siswa jaman sekarang, yang hebohnya tak karuan. Tidak pula berdandan cantik bak foto model kenamaan dan berlenggak lenggok di panggung. Apalagi mengenal nama toga, sebuah jubah kebesaran wisudawan. Juga tak ada konvoi kendaraan ataupun corat coret baju. Garingnya kebangetan.
Tahun 1998. Ya benar. Aku lulus di era reformasi yang melanda negeri ini. Saat itu krisis moneter sedang mengguncang dunia. Presiden Soeharto, yang telah berkuasa selama 32 tahun, memutuskan mundur dari jabatannya. Demonstrasi mahasiswa tak henti-hentinya menghiasi media.
Inflasi besar-besaran terjadi. Kerupuk yang tadinya 10 rupiah menjadi 100. Uang 1000 rupiah jadi tak ada nilainya lagi. Semua harga berlipat melambung tinggi.
Kembali ke cerita SMA ku tadi. Dengan nilai rupiah yang tidak jelas ini, sekolah memutuskan tak ada ritual perpisahan. Dan akhirnya, aku dan teman-teman memperpisahi diri kami sendiri. Hihihi... Lucu kedengarannya saat dikenang seperti ini.
Kelas XII jelas merupakan penentu mau kemana kita setelahnya. Ada banyak pilihan yang bisa ditempuh saat pintu perkuliahan kita buka. Namun tentu saja untuk memasukinya dibutuhkan perjuangan bersimbah peluh dan tak jarang air mata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar