Kamis, 24 Maret 2022

Putih Abu-abu

Masa putih abu-abuku memang sudah lewat dua puluh empat tahun yang lalu. Namun entah kenapa jiwaku terasa masih ada di titik itu. Adakah yang tahu kena penyakit apa aku?

Jamanku SMA dulu bisa dibilang berakhir dengan tidak indah. Tak ada wisuda layaknya seremonial perpisahan ala siswa jaman sekarang, yang hebohnya tak karuan. Tidak pula berdandan cantik bak foto model kenamaan dan berlenggak lenggok di panggung. Apalagi mengenal nama toga, sebuah jubah kebesaran wisudawan. Juga tak ada konvoi kendaraan ataupun corat coret baju. Garingnya kebangetan. 

Tahun 1998. Ya benar. Aku lulus di era reformasi yang melanda negeri ini. Saat itu krisis moneter sedang mengguncang dunia. Presiden Soeharto, yang telah berkuasa selama 32 tahun, memutuskan mundur dari jabatannya. Demonstrasi mahasiswa tak henti-hentinya menghiasi media. 

Inflasi besar-besaran terjadi. Kerupuk yang tadinya 10 rupiah menjadi 100. Uang 1000 rupiah jadi tak ada nilainya lagi. Semua harga berlipat melambung tinggi. 

Kembali ke cerita SMA ku tadi. Dengan nilai rupiah yang tidak jelas ini, sekolah memutuskan tak ada ritual perpisahan. Dan akhirnya, aku dan teman-teman memperpisahi diri kami sendiri. Hihihi... Lucu kedengarannya saat dikenang seperti ini. 

Kelas XII jelas merupakan penentu mau kemana kita setelahnya. Ada banyak pilihan yang bisa ditempuh saat pintu perkuliahan kita buka. Namun tentu saja untuk memasukinya dibutuhkan perjuangan bersimbah peluh dan tak jarang air mata. 

Takdir mengantarkan aku ke sebuah kota di ujung pulau Jawa. Sendiri di kota asing, tak ada sanak saudara. Apalagi pertama kali jauh dari orang tua. Fiyuhhhhh benar-benar menguras rasa. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar