Ini adalah sebuah kisah nyata. Tokoh nya disamarkan agar tidak ada yang baper saat membaca.
Alkisah tersebutlah siswa bernama "Bambang" yang menjadi lakon utama.
Pandemi, eranya masyarakat rebahan dimulai. Bambang duduk di kelas XI SMA. Siswa yang memiliki banyak talenta seni ini jenuh, merasa terkebiri. Tak bisa bebas berekspresi, demikian dalihnya saat banyak tugas dan zoom tidak diikuti.
Hingga pada suatu hari, aku, wali kelasnya, mendapati laporan kehadiran mingguan yang mengejutkan. Selama tujuh hari berturut-turut Bambang tidak hadir tanpa keterangan apapun.
Kuputuskan melaporkan hal ini pada guru BK untuk rencana tindak lanjutnya.
Esok harinya, kami berdua, wali kelas dan guru BK memutuskan untuk home visit Bambang di rumahnya. Kebetulan rumah si Bambang hanya sepelemparan batu saja dari sekolah. Kami pun berjalan kaki sambil membakar lemak tubuh.
Tiba di rumahnya, kami disambut Bu Flora, mama Bambang. Tanpa basa basi, Bu Flo dengan lugas mengatakan bahwa dia sengaja merampas telepon seluler dan lap top Bambang karena merasa jengkel atas sikap perilakunya.
"Maaf ya Bu, saya sengaja merampas hape dan laptop anak saya. Sudah di ubun-ubun kemarahan saya. Hape nya bukan buat sekolah Bu. Alih-alih mengerjakan tugas, dia malah asyik video call dengan om om. Gatau tuh kayaknya mereka pacaran. Saat saya buka pintu kamarnya dadakan, dia buru-buru nutupin badan pakai selimut. Saya rebut dan buka paksa kenapa demikian. Ternyata tidak sehelai benang pun yang dikenakan saat itu. Betapa marahnya saya. Ini sudah keterlaluan. Saya takut dia benar-benar kelainan," tutur Bu Flo berapi-api.
Bagai disambar petir di siang bolong. Kami berdua ternganga tak bisa berkata-kata.
"Tak hanya itu saja Bu. Dia malah jadi tukang ojek anak nakal. Temannya cewek lagi dapat orderan, dia yang nganterin, dikasih uang 100 rb. Ternyata SMA****** ini ada juga ayam abu-abu."
Kali ini tak hanya petir yang menyambar. Ribuan petasan meletus laksana pengantin ala Betawi.
Apalagi ini. Kaget Alang kepalang. Tak berkesudahan rasanya mendengar kisah yang disampaikan.
Kurang lebih dua jam lamanya kami berdua hanya duduk diam mendengarkan cerita horor Bu Flo.
Bambang hanya diam sambil memandang mamanya yang tengah mengeluarkan magma. Benar-benar seperti gunung berapi. Letusannya menggelegar, lahar panas nya mengalir melalap habis apapun, siapapun, tanpa ampun.
Ditengah letusan, Bambang ingin menyela. Mungkin dia akan memberikan klarifikasi. Tapi apa yang terjadi?
"Apa kamu lihat-lihat mama? Tak culek-culek nanti!!"
Walhasil, aku hanya bisa mengelus punggung si Bambang sambil berkata, "Sudahlah Mbang. Kamu diam saja dulu. Jangan menyela mamamu."
Selama dua jam lebih aku, guru BK, dan Bambang mematung mendengarkan tausiyah sang mama.
"Ibu selaku wali kelasnya, kenapa malah membela anak yang salah. Dan seakan menyalahkan saya?"
Bukan guntur lagi yang membuat jantungku runtuh berdebam. Barangkali tiupan sangkakala oleh malaikat isrofil, saat aku juga dianggap bersalah, tanpa aku tau apa kesalahanku.
Saat akhirnya aku sadar, semua bermula dari wallpaper si Bambang. Kupanggil dia ke ruang BK untuk konseling terkait ketidakhadirannya yang melebihi batas kewajaran. Saat ia buka hapenya, sempat kubaca ungkapan makian. Jika digeser ganti wallpaper pun, masih juga dihias makian.
Mending aku ngingu asu dari pada ngingu anak koyok koen.
Matio ketabrak sepur daripada aku duwe anak model koen.
Dan seabreg ungkapan yang membuat ngilu hati.
Saat kutanya itu dari siapa, Bambang kata itu pesan wa mamanya yang di screenshot dijadikan wallpaper.
Masa mamamu kata seperti itu mbang ?
Inilah yang mamanya Bambang tidak terima. Pertanyaan tersebut seakan menyalahkan sang mama. Tak pantas seharusnya guru, walikelas, bertanya seperti itu. Lebih baik ditanyakan, apa yang kau perbuat sehingga mamamu berkata demikian ?
Bagi pemeluk agama kami, ungkapan tersebut bukanlah doa. Ibu harus bisa membedakan antara kalimat kutukan, kalimat makian, dan kalimat doa. Meskipun agama kita berbeda saya akan menjelaskan.
Dua jam lebih, kami berdua mendengarkan ceramah agama. Bahwa ini adalah kali pertama aku, setelah dua puluh tahun mengajar, tiba-tiba menjadi bodoh oleh wali murid. Tidak layak menjadi wali kelas, dan label lainnya.
Percuma bicara dengan orang yang sedang marah. Tidak akan ketemu titik terang nya. Emosi yang sanggup bersaing dengan terorisme ini pasti bisa mululuhlantakkan gedung menara kembar WTC, seperti yang terjadi dua puluh dua tahun yang lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar