Hari Kamis malam Jumat legi, sering dianggap orang keramat. Begitu juga bagiku, yang diberi Tuhan keunikan bisa melihat mereka yang tak kasat mata.
Senja itu langit mendung. Matahari tak lagi nampak. Hanya temaram di ufuk barat. Burung-burung beterbangan menyambut datangnya malam. Angin pun tak hendak bertiup seolah menunggu rintik hujan datang.
Sebut namaku Laksmi. Hobiku menari. Berbagai macam tarian sudah pernah kuperankan. Aku lebih suka menarikan tari tradisional. Musik daerah bagiku lebih syahdu daripada modern. Musik ini jugalah yang mempertemukan ku dengan Sariyem, seorang penari dari dunia maya.
Pertemuanku dengan Sariyem bermula saat aku menari Bali di sanggar Cempaka. Gemulai jemarinya beradu dengan lirikan mata yang menusuk sana sini. Jangan pernah memandang matanya, karena kamu bisa buta.
Sariyem sangat senang jika suara gamelan melantun musik Bali. Dan siapa yang menarikan tari Bali akan dia rasuki tanpa peduli. Susah payah aku bilang padanya, "Lepas.... Pergi... Aku ga mau kamu masuk tubuhku."
Aku meronta dalam tarian. Amburadul gaya kutarikan. Sebisa mungkin kubuat gerakan baru agar Sariyem tak lagi bisa meniru dan akhirnya melepasku. Tapi kekuatannya tak mampu kuhalau begitu saja.
"Apa mau mu?" Teriakku kesal saat tari Kecak selesai kubawakan.
"Aku mau tubuhmu!" santai dia bicara seolah tak punya dosa. "Aku mau tubuh seorang penari."
"Omong kosong. Manusia dan setan selamanya tak akan pernah bisa bersatu. Kita berbeda. Jangan lupakan itu."
Sariyem menghentak nafas dan mulai mengangkat tangannya. Seketika matanya melirik kiri kanan bergantian. Kenapa pula ? Padahal baru saja kami beristirahat setelah menyambut tamu.