SYUHADA
NANGGALA
Evin
Asmira
“Minggu
depan Ayah pulang. Kita jalan-jalan ya, Sayang. Jaga Mama dan adikmu.” Ayah
menutup percakapan teleponnya sesaat sebelum berangkat melaksanakan tugas
negara.
“Sasya
sayang Ayah. Bye bye. Assalamualaikum.” aku mematikan tombol di telepon seluler
sambil membayangkan minggu depan saat Ayah datang.
Ya.
Kami sekeluarga selalu memanfaatkan waktu kepulangan Ayah dengan jalan-jalan
sekeluarga. terakhir kami bepergian menyewa sebuah homestay di Jogjakarta
selama tiga hari tiga malam. Hampir semua destinasi wisata di kota itu tak
luput dikunjungi. Puas sekali rasanya.
“Ma,
minggu depan ayah datang. Enaknya kita kemana?” kutanya Mama yang tengah
menggoreng tempe selimut kesukaanku.
“Kamu
mau kemana, Kak? Jangan jauh-jauh donk, Mama capek kalo kebanyakan duduk dalam
mobil.”
“Ah
Mama. Yang dekat-dekat sini kan ga seru wisatanya. Lagian nanti kita bisa berhenti
di rest area. Bisa salat, sambil cari makan. Jadi ga jenuh di mobil terus.”
“Ya
sudahlah, Kak. Asal wisatanya ga ekstrim ya.”
“Ok
Ma. Siap. Aku browsing dulu ya. Nanti kalau Ayah datang, kita sudah siap
berangkat.”
Aku
tak sabar menunggu hari agar cepat berganti. Berselancar di dunia maya mencari
destinasi wisata dan home stay kulakukan setelah menyelesaikan tugas sekolah.
Kami sekeluarga lebih menyukai tinggal di homestay saat menginap daripada
hotel. Selain harga sewanya jauh lebih murah, homestay menawarkan fasilitas
dapur seperti layaknya rumah tangga pada umumnya. Jadi bisa menghemat
pengeluaran. Mama biasanya membawa perbekalan bahan mentah untuk dimasak selama
berada di kota tujuan.
Ayahku
sosok TNI yang sangat dekat dengan anak-anaknya. Saat Ayah datang, kami
biasanya ngobrol tentang banyak hal. Mulai dari kenakalan adik, berantem sama
teman, dimarahi Mama, sampai urusan cowok. Semua hal yang terjadi ketika Ayah
pergi bertugas, diceritakan berebutan waktu kami berada di meja makan.
Sampai-sampai Mama ga kebagian waktu bercerita. Sedangkan Ayah kebanyakan
menjadi pendengar yang baik. Hanya sesekali menimpali, sambil memberikan
nasehat.
“Ayah,
kenapa berdiri di luar? Kenapa tidak masuk ke dalam rumah? Ayok Yah, dibuka aja
pintunya. Mama di dapur mungkin lagi masak.”
Aku
segera membukakan pintu dan memanggil mama. Hari ini kebetulan aku menngikuti
pembelajaran tatap muka di sekolah. Jam setengah sepuluh pagi pembelajaran
telah usai dan aku langsung pulang.
“Mamaaaa Ayah datang!” setengah berteriak aku
langsung masuk dan menemukan mama di ruang keluarga menitikkan air mata. Tante
Ratna, adik mama mendampinginya.
“Mama
kenapa? Kok nangis, Tante? Mama ga denger bel ya? Itu Ayah nungguin dari tadi.
Di Teras sendirian. Tumben Ayah kok ga langsung masuk. Mungkiin dikirain
pintunya dikunci ya Ma?”
Mama
berdiri dan segera memelukku. Sambil sesenggukan. Aku heran. Tidak pernah mama
menangis sampai seperti ini.
“Sasyaaaa,
anak Mama. Kamu yang sabar ya, Nak. Kita harus tabah. Kita berusaha ikhlas
ya..”
“Memangnya
ada apa, Ma? Ayok segera siap-siap kita mau wisata. Aku sudah merancang kita
kali ini ke Solo dan sekitarnya aja. Lewat tol hanya empat jam sudah nyampai.
Ayok Ma buruan beresin baju. Ayah sudah menunggu.”
Mama
malah memelukku kian erat, isak tangisnya semakin kencang. Tante hanya melihat
kami sambil tak henti mengusap matanya yang basah.
“Sasyaaa...
dengarkan Mama dulu sayang. Mama barusan dapat telepon dari kantor Ayah. Sudah
dua hari ini kapal selam yang Ayah tumpangi hilang di perairan laut Bali. Besar
kemungkinan semua kru kapal meninggal dunia.”
Darrrrr
!!!
Petir
menggelegar seketika.
“Apa
Ma? Ga mungkin. Itu Ayah datang. Tadi aku lihat Ayah di teras. Sebentar Ma. Aku
lihat Ayah dulu.”
Aku
berlari secepat mungkin meninggalkan Mama menuju teras. Celingukan aku mencari
Ayah. Tak nampak siapapun disana. Kupanggil kucari ke sekeliling rumah.
“Ayah...
Ayah... dimana? Ayah... Ayah?” Aku berkeliling rumah. Membuka semua pintu kamar
dari depan hingga belakang. Kuteriakkan nama Ayah. Namun sepi. Hanya isak mama dan
tante yang terdengar. Aku semakin panik tatkala para tetangga satu persatu
mulai berdatangan. Keluarga mama dan Ayah juga menelepon menanyakan kebenaran
kabar yang mereka terima. Bahwa Ayah telah pergi untuk selama-lamanya. Aku
pusing. Kepalaku terasa berat. Rasanya aku tak bisa menerima kenyataan. Kunyalakan
televisi berharap mendapatkan kabar terang tentang berita ini. Namun wacana
tentang KRI Nanggala 402, nama kapal selam yang ditumpangi Ayah beserta kru
nya, hadir hampir di semua pemberitaan media. Dan semuanya sama. Bersama Nanggala,
ayahku menjadi syuhada.
Satu
tanya masih menggelayuti pikiranku hingga kini. Jika memang Ayahku telah pergi
menghadap keharibaan Ilahi, lalu siapa yang datang siang tadi?
👍
BalasHapus