Selasa, 22 Maret 2022

SYUHADA NANGGALA

 

SYUHADA NANGGALA

Evin Asmira

 

“Minggu depan Ayah pulang. Kita jalan-jalan ya, Sayang. Jaga Mama dan adikmu.” Ayah menutup percakapan teleponnya sesaat sebelum berangkat melaksanakan tugas negara.

“Sasya sayang Ayah. Bye bye. Assalamualaikum.” aku mematikan tombol di telepon seluler sambil membayangkan minggu depan saat Ayah datang.

Ya. Kami sekeluarga selalu memanfaatkan waktu kepulangan Ayah dengan jalan-jalan sekeluarga. terakhir kami bepergian menyewa sebuah homestay di Jogjakarta selama tiga hari tiga malam. Hampir semua destinasi wisata di kota itu tak luput dikunjungi. Puas sekali rasanya.

“Ma, minggu depan ayah datang. Enaknya kita kemana?” kutanya Mama yang tengah menggoreng tempe selimut kesukaanku.

“Kamu mau kemana, Kak? Jangan jauh-jauh donk, Mama capek kalo kebanyakan duduk dalam mobil.”

“Ah Mama. Yang dekat-dekat sini kan ga seru wisatanya. Lagian nanti kita bisa berhenti di rest area. Bisa salat, sambil cari makan. Jadi ga jenuh di mobil terus.”

“Ya sudahlah, Kak. Asal wisatanya ga ekstrim ya.”

“Ok Ma. Siap. Aku browsing dulu ya. Nanti kalau Ayah datang, kita sudah siap berangkat.”

Aku tak sabar menunggu hari agar cepat berganti. Berselancar di dunia maya mencari destinasi wisata dan home stay kulakukan setelah menyelesaikan tugas sekolah. Kami sekeluarga lebih menyukai tinggal di homestay saat menginap daripada hotel. Selain harga sewanya jauh lebih murah, homestay menawarkan fasilitas dapur seperti layaknya rumah tangga pada umumnya. Jadi bisa menghemat pengeluaran. Mama biasanya membawa perbekalan bahan mentah untuk dimasak selama berada di kota tujuan. 

Ayahku sosok TNI yang sangat dekat dengan anak-anaknya. Saat Ayah datang, kami biasanya ngobrol tentang banyak hal. Mulai dari kenakalan adik, berantem sama teman, dimarahi Mama, sampai urusan cowok. Semua hal yang terjadi ketika Ayah pergi bertugas, diceritakan berebutan waktu kami berada di meja makan. Sampai-sampai Mama ga kebagian waktu bercerita. Sedangkan Ayah kebanyakan menjadi pendengar yang baik. Hanya sesekali menimpali, sambil memberikan nasehat.

“Ayah, kenapa berdiri di luar? Kenapa tidak masuk ke dalam rumah? Ayok Yah, dibuka aja pintunya. Mama di dapur mungkin lagi masak.”

Aku segera membukakan pintu dan memanggil mama. Hari ini kebetulan aku menngikuti pembelajaran tatap muka di sekolah. Jam setengah sepuluh pagi pembelajaran telah usai dan aku langsung pulang.

 “Mamaaaa Ayah datang!” setengah berteriak aku langsung masuk dan menemukan mama di ruang keluarga menitikkan air mata. Tante Ratna, adik mama mendampinginya.

“Mama kenapa? Kok nangis, Tante? Mama ga denger bel ya? Itu Ayah nungguin dari tadi. Di Teras sendirian. Tumben Ayah kok ga langsung masuk. Mungkiin dikirain pintunya dikunci ya Ma?”

Mama berdiri dan segera memelukku. Sambil sesenggukan. Aku heran. Tidak pernah mama menangis sampai seperti ini.

“Sasyaaaa, anak Mama. Kamu yang sabar ya, Nak. Kita harus tabah. Kita berusaha ikhlas ya..”

“Memangnya ada apa, Ma? Ayok segera siap-siap kita mau wisata. Aku sudah merancang kita kali ini ke Solo dan sekitarnya aja. Lewat tol hanya empat jam sudah nyampai. Ayok Ma buruan beresin baju. Ayah sudah menunggu.”

Mama malah memelukku kian erat, isak tangisnya semakin kencang. Tante hanya melihat kami sambil tak henti mengusap matanya yang basah.

“Sasyaaa... dengarkan Mama dulu sayang. Mama barusan dapat telepon dari kantor Ayah. Sudah dua hari ini kapal selam yang Ayah tumpangi hilang di perairan laut Bali. Besar kemungkinan semua kru kapal meninggal dunia.”

Darrrrr !!!

Petir menggelegar seketika.

“Apa Ma? Ga mungkin. Itu Ayah datang. Tadi aku lihat Ayah di teras. Sebentar Ma. Aku lihat Ayah dulu.”

Aku berlari secepat mungkin meninggalkan Mama menuju teras. Celingukan aku mencari Ayah. Tak nampak siapapun disana. Kupanggil kucari ke sekeliling rumah.

“Ayah... Ayah... dimana? Ayah... Ayah?” Aku berkeliling rumah. Membuka semua pintu kamar dari depan hingga belakang. Kuteriakkan nama Ayah. Namun sepi. Hanya isak mama dan tante yang terdengar. Aku semakin panik tatkala para tetangga satu persatu mulai berdatangan. Keluarga mama dan Ayah juga menelepon menanyakan kebenaran kabar yang mereka terima. Bahwa Ayah telah pergi untuk selama-lamanya. Aku pusing. Kepalaku terasa berat. Rasanya aku tak bisa menerima kenyataan. Kunyalakan televisi berharap mendapatkan kabar terang tentang berita ini. Namun wacana tentang KRI Nanggala 402, nama kapal selam yang ditumpangi Ayah beserta kru nya, hadir hampir di semua pemberitaan media. Dan semuanya sama. Bersama Nanggala, ayahku menjadi syuhada.

Satu tanya masih menggelayuti pikiranku hingga kini. Jika memang Ayahku telah pergi menghadap keharibaan Ilahi, lalu siapa yang datang siang tadi?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

1 komentar: