EPISODE : DUKA CITA SANG RAJA
PoV
Hayam Wuruk
Hujan telah usai. Menyisa rintik
gerimis yang menitik perlahan. Bumi masih basah. Banjir darah mulai surut.
Tinggal gelimpangan mayat di lapangan Bubat.
“Dinda Dyah Pitaloka, mengapa
seperti ini takdir kita?” ratap pilu baginda.
“Dinda, bagaimana aku bisa hidup
tanpamu? Kau adalah nafasku. Betapa kejamnya semesta menghukum kita. Begitu
sulitkah mencinta?”
“Yang mulia, mari kita pulang.” pelan
sekali seorang punggawa berkata. “Biarlah semunya dirurus prajurit.”
Aku membiarkan diriku dibawa entah
kemana. Aku menutup mata. Tak ingin lagi kulihat dunia. Beberapa saat kemudian,
aku tak ingat apa-apa.
Saat terbangun, aku sudah berada di
ranjang kebesaranku. Harum dupa dan wangi bunga semerbak memenuhi sekeliling
bilik kamarku. Langsung melintas di kepalaku kejadian sore tadi. Aku kembali menggugu.
“Dindaaaaaaaaaaa....!!!” kembali
kuteriak.
Seorang prajurit mengetuk pintu dan
segera masuk. Mungkin mendengar gelegar suaraku.
“Paduka, Jenazah Prabu Linggabuana,
permasuri, dan tuan putri Dyah Pitaloka telah siap di balairung istana.
Menunggu titah yang mulia selanjutnya.”
“Baiklah. Kumpulkan semua pejabat kerajaan.
Hadirkan pula tamu undangan. Kita bersama-sama akan memberikan penghormatan
terakhir untuk mereka,” kupaksakan tegar perintahku.
Dengan bantuan pengawal pribadi, aku
berganti pakaian. Jubah hitam penanda duka segera melekat di tubuhku. Bersama
beberapa punggawa aku menuju balairung istana.
Di panggung balairung yang
rencananya menjadi pelaminanku, Raja Sunda, permaisuri, dan kekasihku telah
dibaringkan diatas tandu. Pakaian kebesaran kerajaan dan asesorisnya telah pula
diganti kain putih panjang, khas baju orang yang telah meninggal. Mereka siap
diperapikan. Kereta kencana sudah dipersiapkan.
Setelah beberapa ritual penghormatan
dilaksanakan, tandu jenazah diangkat, dimasukkan dalam kereta kencana. Di
belakangnya, sebuah kereta kerajaan juga sudah siap. Aku masuk kedalamnya. Aku
akan mengantar mereka hingga pintu nirwana. Iringan
kereta kencana segera berangkat menuju Candi Brahu, sebuah pura suci bagi kami,
penganut agama hindu. Bangunan khusus untuk keluarga kerajaan saat mereka
dikremasi.
Sesampainya di Candi Brahu, tiga
tumpukan meja kayu telah menyambut kedatangan kami. Tanpa kuberi aba-aba,
punggawa sudah melaksanakan tugasnya. Tandu jenazah dikeluarkan dari kereta
kencana, dipanggul menuju perapian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar