Episode : Sang Raja Patah Hati
Bidadari Sunda Putri Dyah Ayu Pitaloka (ala penulis)PoV Hayam Wuruk
Dari
arah barat, kulihat seorang prajurit berlari, tergopoh-gopoh seolah ada hal
penting yang akan disampaikan. Saat tiba dihadapanku, nafasnya tinggal
satu-satu. Raut mukanya pucat pasi ketakutan. Bajunya basah kuyup oleh keringat.
Peluhnya tak henti mengucur.
“Paduka,
gawat!!! Prajurit wilayah barat dipimpin Patih Gajah Mada menyerbu Pesanggrahan
Bubat. Semua rombongan Pasundan tewas. Tuan Putri bunuh diri.” takut-takut
prajurit itu melaporkan.
“Apa!!!
Patih Mada menyerbu Bubat? Atas perintah siapa?” sang raja murka.
“S...sa...saya
tidak tahu yang mulia. Ampuni hamba.” punggawa itu semakin mencericit ketakutan.
“Putri
Dyah Pitaloka? Bunuh diri? Tidaaaaakkkkkk!!! Kita kesana. Prajurit, siapkan
kuda.”
“Siap,
paduka.”
Awan
hitam mulai menggugurkan air yang dikandungnya. Tetes-tetes hujan perlahan membasahi
bumi Bubat. Semakin lama semakin deras. Guntur menggelegar. Petir menyambar.
Semesta seolah menangis, menyuarakan duka, mendendangkan nestapa.
Ditengah
hujan badai, Sri Baginda Maharaja Hayam Wuruk memacu kudanya kencang.
Sekencang-kencangnya. Ingin dia tiba di Petirahan Bubat secepatnya.
“Hiyeeeehhhhhh...
hiyeeehhhh...” suara kuda bergemuruh bersahut-sahutan.
Diiringi
beberapa pasukan pengawal pribadi sang raja, kuda-kuda berlari layaknya kilat.
Bagai kesetanan. Sangat cepat.
Lapangan
Bubat sudah di depan mata. Namun tak ada satupun manusia di sana yang masih
bernyawa. Semua tumbang tak bersisa. Tumpukan mayat dimana-mana. Darah yang terguyur
lebatnya hujan membuat lapangan Bubat bak
lautan merah.
Sri
Rajasanegara, raja besar yang memerintah Nusantara, turun dari kuda dan berlari mencari
kekasihnya. Diantara gelimpangan mayat penuh sayat, tergeletaklah belahan
jiwanya.
“Dindaaaaaa!!!
Dinda Dyah Pitalokaaaa!!! Lekas buka mata. Ini aku, kang mas raja. Jangan
tinggalkan akuuuuuu......” raja kerajaan besar itu bersimpuh tergugu pilu.
Beberapa
saat hening melingkupi lapangan Bubat. Tak ada yang bersuara. Semua punggawa
hanyut dalam lara bersama sang raja. Hanya rintik rinai lirih.
Sang
raja tak kuasa berdiri. Lunglai kakinya serasa tak bersendi. Merangkul calon
istri yang telah terbang ke nirwana. Meninggalkan sang raja dalam duka. Menyisa
hati yang patah terluka.
“Punggawa,
kerahkan pasukan bersihkan lapangan. Mayat prajurit dan dayang kuburkan dengan layak.
Raja, permaisuri, dan sang putri bawa mayatnya ke istana. Kita akan berikan
penghormatan terakhir yang sepadan.” titah sang raja.
Dengan
berat hari, baginda raja kembali. Wajahnya sayu dirundung pilu. Hatinya luka tertancap
sembilu.
“Patih
Madaaaa! Aku akan buat perhitungan denganmu!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar