Rabu, 30 Maret 2022

TEMPIAR KASIH - BAG 2

 Episode : Sang Raja Patah Hati

                                                Bidadari Sunda Putri Dyah Ayu Pitaloka (ala penulis)


PoV Hayam Wuruk

 

Dari arah barat, kulihat seorang prajurit berlari, tergopoh-gopoh seolah ada hal penting yang akan disampaikan. Saat tiba dihadapanku, nafasnya tinggal satu-satu. Raut mukanya pucat pasi ketakutan. Bajunya basah kuyup oleh keringat. Peluhnya tak henti mengucur.

“Paduka, gawat!!! Prajurit wilayah barat dipimpin Patih Gajah Mada menyerbu Pesanggrahan Bubat. Semua rombongan Pasundan tewas. Tuan Putri bunuh diri.” takut-takut prajurit itu melaporkan.

“Apa!!! Patih Mada menyerbu Bubat? Atas perintah siapa?” sang raja murka.

“S...sa...saya tidak tahu yang mulia. Ampuni hamba.” punggawa itu semakin mencericit ketakutan.

“Putri Dyah Pitaloka? Bunuh diri? Tidaaaaakkkkkk!!! Kita kesana. Prajurit, siapkan kuda.”

“Siap, paduka.”

Awan hitam mulai menggugurkan air yang dikandungnya. Tetes-tetes hujan perlahan membasahi bumi Bubat. Semakin lama semakin deras. Guntur menggelegar. Petir menyambar. Semesta seolah menangis, menyuarakan duka, mendendangkan nestapa.

Ditengah hujan badai, Sri Baginda Maharaja Hayam Wuruk memacu kudanya kencang. Sekencang-kencangnya. Ingin dia tiba di Petirahan Bubat secepatnya.

“Hiyeeeehhhhhh... hiyeeehhhh...” suara kuda bergemuruh bersahut-sahutan.

Diiringi beberapa pasukan pengawal pribadi sang raja, kuda-kuda berlari layaknya kilat. Bagai kesetanan. Sangat cepat.

Lapangan Bubat sudah di depan mata. Namun tak ada satupun manusia di sana yang masih bernyawa. Semua tumbang tak bersisa. Tumpukan mayat dimana-mana. Darah yang terguyur lebatnya hujan membuat  lapangan Bubat bak lautan merah.

Sri Rajasanegara, raja besar yang memerintah Nusantara,  turun dari kuda dan berlari mencari kekasihnya. Diantara gelimpangan mayat penuh sayat, tergeletaklah belahan jiwanya.

“Dindaaaaaa!!! Dinda Dyah Pitalokaaaa!!! Lekas buka mata. Ini aku, kang mas raja. Jangan tinggalkan akuuuuuu......” raja kerajaan besar itu bersimpuh tergugu pilu.

Beberapa saat hening melingkupi lapangan Bubat. Tak ada yang bersuara. Semua punggawa hanyut dalam lara bersama sang raja. Hanya rintik rinai lirih.

Sang raja tak kuasa berdiri. Lunglai kakinya serasa tak bersendi. Merangkul calon istri yang telah terbang ke nirwana. Meninggalkan sang raja dalam duka. Menyisa hati yang patah terluka.

“Punggawa, kerahkan pasukan bersihkan lapangan. Mayat prajurit dan dayang kuburkan dengan layak. Raja, permaisuri, dan sang putri bawa mayatnya ke istana. Kita akan berikan penghormatan terakhir yang sepadan.” titah sang raja.

Dengan berat hari, baginda raja kembali. Wajahnya sayu dirundung pilu. Hatinya luka tertancap sembilu.

“Patih Madaaaa! Aku akan buat perhitungan denganmu!”








Tidak ada komentar:

Posting Komentar