Selasa, 29 Maret 2022

TEMPIAR KASIH - BAG 1

Episode : Pesanggrahan Bubat


Pesanggrahan Bubat, Lambang Cinta Suci Sang Maharaja



Awan hitam berarak memenuhi langit Majapahit sore itu. Jingga yang semula melukis senja beranjak sendu. Semilir angin berganti topan. Hitam. Kelam. Mencekam. Burung-burung yang semula menari riang alih berlarian, berlomba mengepak sayap pulang. Anjing melolong menyayat menakutkan. Angin melumat daun-daun yang lembut bergoyang. Bebungaan luruh rontok berguguran. Semesta seolah sedang murka.

 

PoV Dyah Pitaloka Citraresmi

 

Aku sejenak memejam mata. Perlahan kurasakan pergolakan semesta. Degup jantungku berkejaran tanpa jeda. Ada apa? Naluriku berkata bencana akan datang segera.

Tanggal 13 bulan Asujimasa 1279 Saka. Hari ini hari kedua aku bersama ayahanda Raja Prabu Linggabuana Wisesa dan ibunda Ratu Dewi Lara Linsing, dengan seluruh iring-iringan Kerajaan Sunda menghirup udara Majapahit. Lelah raga setelah perjalanan jauh belum juga pulih. Empat puluh hari empat puluh malam kami naik kereta kuda, dari tanah Pasundan menuju bumi Majapahit. Sebagian prajurit pengawal berjalan kaki menapak jengkal demi jengkal bentala Jawa.

Letih badan seakan terobati manakala kami disambut meriah oleh rakyat Majapahit. Sebuah pesangggrahan di daerah Bubat telah menanti kedatangan kami. Khusus diperuntukkan bagi rombongan kerajaan untuk melepas penat perjalanan.

Petirahan ini yang ditata sangat apik. Indah. Penuh dengan fasilitas mewah kerajaan. Bangunan artistik berarsitektur joglo nan luas berdiri kokoh anggun. Tiang-tiangnya dari kayu jati. Kuat. Tak akan lapuk dimakan rayap hingga puluhan tahun terlewati. Taman bunga yang menghias sekeliling peristirahatan ini sangat mengagumkan. Sungguh. Keindahan dalam arti yang sesungguhnya. Dikara tanpa cela.

Tempat permandian keluarga kerajaan pun tak kalah bagusnya. Air jernih memancar di beberapa penjuru. Kolam rendam penuh bunga tujuh rupa siap menyapa dan selalu diganti setiap harinya.

Tak hanya tempat tetirah yang mewah. Namun juga hidangan yang disajikan teramat istimewa. Hampir semua jenis makanan dan buah-buahan tersedia. Betapa luhurnya raja Majapahit ini. Menghormati tamu layaknya pesta.

Ah, Kangmas Raja. Begitu aku menyebutnya dalam risalah cinta. Aku sudah tak sabar menanti esok hari. Kita akan bertemu di pelaminan, lambang pemersatu cinta suci.

Di kursi mempelai itu nanti, Kangmas Hayam Wuruk, kekasih hatiku, akan menungguku. Dialah Sri Rajasanagara atau Sang Hyang Wekasing Suka, seorang raja yang bijaksana. Masih belia usianya saat tampuk pemerintahan berada dalam genggamannya. Di mataku dia sosok pria idaman hati para puteri. Wajahnya bersinar tampan berwibawa. Posturnya tinggi tegap gagah memancarkan aura. Siapapun pasti jatuh cinta pada pandangan pertama.

 

PoV Hayam Wuruk

 

            Sore ini aku bersama beberapa punggawa sengaja berkeliling istana. Terutama balairung yang esok hari akan menjadi pusat acara. Tak sabar aku ingin segera mempersunting puteri Dyah Pitaloka Citraresmi, bidadari Kerajaan Sunda. Wajahnya cantik jelita. Kulitnya kuning langsat. Rambut panjangnya tergerai indah hingga pinggang. Tinggi langsing semampai. Saat dia berjalan, semua mata tak jemu memandang.  Saat dia tersenyum, lesung pipit terlihat merajai pipinya  yang bersemu kemerahan. Pakaian yang dia kenakan selalu anggun pas di badan. Apalagi saat dia bernyanyi. Suaranya merdu bak buluh perindu. Mabuk kepayang aku disergap rindu.

Dyah Pitaloka Citraresmi. Putri pertama Raja Sunda Prabu Linggabuana itu telah mencuri hatiku sejak awal jumpa. Halus tutur bahasanya. Elok perangainya. Satu kata untuk sang pujaan hati: mempesona. Hatiku semakin bergelora. Aku harus bisa bersanding dengannya.

            Persiapan telah paripurna. Pelaminan sudah dihias penuh bunga-bunga. Ornamen-ornamen khas kerajaan Majapahit dan Sunda dipajang dimana-mana. Warna merah dan emas mendominasi hampir disetiap sudutnya. Dupa khusus keraton pun mulai dibakar perlahan. Wanginya memenuhi seluruh ruangan. Harumnya bernada cinta kasih berbalut sayang.

            “Paduka Raja, semua sudah siap!” sekretaris kerajaan  melaporkan.

            “Kerja bagus, Patih Halayuda. Terima kasih sudah mendukungku sejauh ini. Kau tahu? Aku bahkan tak melihat  Patih Mada seharian. Firasatku mengatakan dia tak senang dengan pernikahanku ini.” Hayam Wuruk bersabda.

            “Beliau sedang berlatih bersama para prajurit kerajaan, Paduka.” kata Patih Halayuda.

“Oh, jadi begitu. Pantas saja tak kulihat dimanapun. Oh ya, beri tahu Mpu Prapanca, jangan lupa merekam peristiwa penting dalam sejarah Majapahit. Bersatunya dua hati, bersatunya dua kerajaan.”

“Baik, Yang Mulia.”

Aku menghela nafas lega. Semua yang kurencanakan esok bakal terlaksana. Sekelebat aku teringat bidadari pujaan hati. Sedang apa dia disana? Semoga dia suka pesanggrahan itu. Aku memang membangun rumah peristirahatan itu khusus untuknya, sebagai bukti bahwa aku sangat mencintanya.

 

PoV Dyah Pitaloka

 

            Kulihat awan hitan bergelayutan sejak tadi. Semilir angin berganti topan. Menderu. Mengganas. Mengiris hati.

Tiba-tiba dari kejauhan kulihat rombongan prajurit berlari. Ada apa? Mengapa mereka menghunus senjata?

“Ayahandaaaa!!! Cepatlah kemari!!! Lihatlah jauh disana. Prajurit Majapahit menuju kemari. Tapi mengapa mereka seperti mau berperang?” cericitku ketakutan.

Maharaja Linggabuana segera bangkit menuju tempatku berdiri. Dilihatnya ribuan tentara bersenjata menuju pesanggrahan yang sedang dihuninya.

“Kurang ajar Majapahit ini!!! Mereka menipu kita! Patih Sora. Cepat siapkan pasukan! Kita berperang.” titah sang raja.

“Paduka, utusan dari Majapahit datang. Ingin bertemu Yang Mulia.”

“Persilakan masuk!” titah sang prabu.

“Raja Linggabuana dari kerajaan Sunda. Kami ingin menyampaikan pesan dari Patih Gajah Mada. Paduka bisa membubuhkan tanda di kertas yang saya bawa. Bahwa yang mulia setuju jika pernikahan ini dilanjutkan, maka wilayah Sunda secara otomatis akan berada di bawah kekuasaan Majapahit. Jika tidak, maka kalian semua akan berakhir disini, saat ini juga.”

“Majapahit biadabbb!!! Beraninya menusuk dari belakang!!! Bangsattt!!! Tidak!!! Tidak akan pernah Sunda tunduk pada Majapahit. Sampai nyawa berpisah dari raga pun aku tak akan sudi!!! Kau utusan laknat!!!”

“Crasssss...!!!” Darah langsung memuncrat. Sang utusan pun meregang nyawa tertusuk pedang emas sang raja.

“Patih Sora lekas tabuh genderang! Kita resmi berperang sampai titik darah penghabisan!”

“Dung derung derung derung...” suara genderang mengudara ditengah awan hitam. Getarannya nyaring memekakkan telinga.

Jarak antara prajurit majapahit dengan pesanggrahan Bubat tinggal sejengkal. Mereka hanya terpisahkan oleh sebuah tanah lapang.

“Seraaaaanggggg!!!” Lengking suara Patih Gajah Mada terdengar memenuhi langit Bubat.

Peperangan dahsyat pun tak bisa dihindarkan lagi. Pasukan berkuda segera menghentak bumi, membawa prajurit berpedang tajam menggasak sana sini. Di belakangnya pasukan belati siap menerjang. Di barisan akhir, pasukan pemanah telah meluncurkan batang-batang bambu bermata racun menuju pesanggrahan. Suasana ricuh. Suara pedang berdenting-denting beradu. Teriakan. Umpatan. Darah menciprat. Leher-leher terpenggal. Badan penuh sayat. Jiwa-jiwa sekarat. Aroma kematian mengungkung padang Bubat.

Peperangan yang sungguh tidak imbang. Prajurit Majapahit tak sedikit. Bukan puluhan. Bukan pula ratusan. Melainkan ribuan. Sedangkan pihak Kerajaan Sunda? Alih-alih pasukan perang. Sebagian besar dari rombongan adalah iring-iringan pengantin dengan banyak dayang. 

“Ayahandaaaaa....Ibundaaaaa....” tangis Dyah Pitaloka menyayat. Jiwanya terluka sangat. Seluruh anggota keluarganya tewas dihadapannya seketika. Riang tawa secepat kilat berubah nestapa. Rasa cinta pada belahan jiwa berganti lara.

“Tuan putri, mari ikut kami. Yang Mulia Raja Sang Hyang Wisesa telah menanti anda.” salah seorang punggawa datang mendekat.

“Aku tak sudi! Pergi! Tinggalkan aku sendiri!” pilu penuh ratap duka tergambar diwajahnya.

 

“Lebih baik aku mati daripada mengkhianati bangsaku sendiri! Katakan pada rajamu! Pengantinnya tutup riwayat! Berangkat menuju akhirat!”

Tanpa berpikir panjang lagi, sang putri segera mengakhiri nafasnya sendiri. Sebilah pisau yang tergeletak tak jauh dari dia bersimpuh diraihnya. Segera ia tancap erat di dada. Dyah Pitaloka tewas seketika.

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar