Kamis, 21 April 2022

TEMPIAR KASIH - bag 26

 


Aku harus melakukan sesuatu. Sri Sudewi memang harus diberi pelajaran. Jika tidak, dia akan semakin bertindak tak karuan. Apabila aku tidak tegas mengambil sikap, maka di kemudian hari dia akan semakin kalap. Haus kekuasaan, haus kasih sayang.

            Mungkin ada benarnya usul Paman Ndaru. Tapi apakah harus se-ekstrim itu? Pengasingan? Hal ini berarti diusir, dibuang. Apa kata keluarga dan rakyat nanti? Permaisuri kok sampai diasingkan. Pastilah dia berbuat salah yang tak biasa. Kesalahan apa yang membuat dia diusir jauh dari istana? Ah, pusing aku dibuatnya.

            Mungkin aku akan menjalankan opsi kedua.  Aku berencana bicara dulu dengan Sri Sudewi. Jika dia mengakui semua perbuatannya, maka aku akan mengampuninya. Namun dengan satu syarat. Dia tak boleh lagi berurusan dengan kerajaan, terutama dalam hal pemerintahan. Aku tak akan lagi mengijinkan dia ikut serta dalam kegiatan kenegaraan.

            Ataukah opsi ketiga? Dia kuminta mengundurkan diri dari posisinya sebagai permaisuri. Dia harus melepas semua keterlibatannya dalam urusan pemerintahan. Dan mensyiarkan bahwa dia ingin menjadi biksuni, mengisi sisa hari dengan mendekatkan diri pada Sang Hyang Widi, di Sendiki. Dengan alasan begitu, dia akan lebih terhormat di mata rakyat.

 

**

 

            “Dinda Sudewi,” panggilku saat sampai di pintu bilik ruangannya. Yang dipanggil hanya mengangguk sambil menunduk. Kami duduk berdua di kursi kayu ruang tengah.

            “Jadi begini, Dinda. Apakah kau telah minum rebusan dedaunan dari Paman Sora?”

            Dia mengangguk.

            “Aku juga menemui Paman Kebo Ireng. Kau tentu tahu dia siapa.”

            Kali ini dia agak sedikit kaget.

            “Dengarkan. Aku hanya minta kejujuran. Aku akan memaafkanmu jika kau tak bohong padaku.”

            Takut-takut dia menatapku, seakan ketahuan belangnya.

            “Apakah benar, kau yang mengirim teluh untuk Ayana?”

            Kaget bukan kepalang rupanya Sudewi mendengarku bicara blak-blakan seperti ini. Pelan dia mengangguk.

            “Apakah kau tahu, mengapa kau tiba-tiba tak bisa bicara?” 

            Menggeleng pelan. Dia hanya diam.

            “Baiklah akan kukatakan semuanya. Kau kirim guna-guna pada Ayana. Tapi teluhmu tak mengenainya. Dan akhirnya berbalik arah kena si empunya. Kau tahu ada apa sebenarnya di tenggorokanmu? Itu adalah botol kaca kecil yang hancur berkeping-keping. Seluruh bagiannya tersangkut di tenggorokanmu. Jadi itulah sebabnya mengapa kau tak bisa bersuara.”

             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar