PoV Hayam Wuruk
“Paman Madaaa!!!” tergesa aku memasuki kawasan Wringin Lawang, kediaman Patih Gajah Mada.
“Siap Yang Mulia. Ada apa mencari hamba?” Sang patih tergopoh menyambut kedatanganku dan beberapa pasukan pengawal pribadi.
“Kita bicara di dalam, paduka.” Patih Gajah Mada mempersilakan kami masuk rumahnya. Aku duduk di bale-bale depan sedangkan para pengawal berdiri di pintu.
Aku menata nafas. Kuredam emosiku yang sejak kemarin bertengger di ubun-ubun.
“Paman Mada, jelaskan padaku mengapa paman menyerang Pesanggrahan Bubat tanpa izinku? Tahukah paman, mereka itu tamu kerajaan. Lebih dari itu, rombongan iringan pengantin itu membawa raja, permaisuri, dan putri Kerajaan Sunda. Apalagi di akhir penyerangan itu, kekasihku pun beraksi belapati?” Cecarku bertubi-tubi.
“Yang Mulia, sebelumnya maafkan hamba karena bertindak lancang tidak berkoordinasi terlebih dahulu. Namun ini adalah sebuah kondisi darurat. Kesempatan kita meluaskan wilayah. Dan momen ini sangat pas.” Patih Gajah Mada berkilah.
“Tapi tidak bisa seperti itu. Perintah apapun harus dengan sepengetahuanku, Paman!”
“Iya Yang Mulia. Saya paham. Tapi ini darurat.”
“Tidak bisa!! Secara tidak langsung, paman telah membunuh putri. Dia kekasihku, paman. Aku tak bisa hidup tanpa dia.”
“Anda tak usah khawatir paduka. Hamba telah menyiapkan calon permaisuri lain yang tak kalah cantiknya.”
“Paman!!! Ini bukan masalah cantik atau tidak!!! Tapi ini masalah hati. Perasaan yang mendalam!!!
“Baginda, Paduka Sori, sepupu anda juga mencintai yang mulia. Berikan kesempatan juga padanya.”
“Tidak Paman Mada. Jika tidak menikah dengan Dinda Dyah Pitaloka, lebih aku tidak pernah naik ke pelaminan. Dengarkan aku! Mulai saat ini kuharap paman segera mengundurkan diri dari tampuk pemerintahan. Aku sudah siapkan tempat yang cocok untuk paman menghabiskan hari tua di Madakaripura. Kuharap mulai saat ini paman tidak mencampuri hidupku lagi!!!” Sang raja segera beranjak pergi, diiringi pasukan pengawal pribadi.
“Tapi yang mulia...,” Gajah Mada mencoba menjelaskan.
Aku tidak menghiraukan ucapannya. Dengan hati masih memendam bara, aku pergi meninggalkan Wringin Lawang. Aku benar-benar kesal. Sudah lama sebenarnya aku ingin menghentikan jabatan paman Mada. Kadangkala dia merasa sudah di atas awan. Jadi seenaknya sendiri. Kukira dulu ibunda ratu Tribuana Tunggadewi terlalu percaya penuh padanya. Akhirnya jadi seperti ini. Huh! Sebenarnya yang raja itu aku atau dia.
Jika saja aku tak ingat jasanya, mungkin aku akan membunuhnya langsung saat ini juga. Kupikir aku ini masih tergolong manusia yang baik hati. Sudah kusiapkan sebuah desa di tepi hutan berlatar air terjun di bilangan Madakaripura. Menurutku ini sesuai dengan jasanya selama ini. Semoga dia benar-benar menjauh dari hidupku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar