RANAVALONA
"Ampunkan hamba, Ratu Ranavalona..." Cericit Sekha, seorang dayang yang baru saja ketahuan berpindah keyakinan.
Disini, negeri kaum Malagasi, Pulau Madagaskar, memeluk agama nenek moyang adalah suatu keharusan. Tak ada yang patut disembah selain arwah para leluhur. Berkeyakinan selain aturan yang ditentukan, berarti berani melawan Sang Tiran.
"Tiada ampun untukmu Sekha. Bagiku, siapapun yang menentang hukum negara maka ia harus sirna." Ratu Ranavalona memicing mata, memasang mimik wajah benci yang teramat nyata.
Ratu Ranavalona, seorang pemimpin wanita dari Madagaskar yang terkenal kekejamannya. Ia memerintah setelah suaminya, Raja Radama 1 meninggal dunia. Perombakan hukum terjadi secara besar-besaran dimasa pemerintahannya.
Ratu mengusir para pedagang Eropa, guru, diplomat, dan misionaris. Bahkan kesepakatan perdagangan dengan Inggris serta Perancis segera dibatalkan. Orang-orang Eropa yang tersisa dinegara ini disiksa, digorok lehernya, ditancapkan di tombak, dipajang di pantai, sebagai peringatan bagi kaum asing agar tak lagi melangkahkan kaki lebih jauh memasuki Madagaskar.
"Pengawal! Lekas bawa kemari minuman tangena untuk Sekha! Kita akan memulai pengadilan untuknya!" Sang Ratu mengeluarkan perintahnya.
Mendengar keputusan Ratu Ranavalona, tak hanya Sekha saja yang kaget dan membelalakkan mata. Seluruh dayang dan pengawal istana kaget tak menyana.
Sekha, seorang dayang setia yang telah menghabiskan separuh umurnya mengabdi di istana, hanya berbuat satu kesalahan karena dianggap menentang penguasa dengan berpindah agama, dibalas dengan kehilangan nyawa.
Pengadilan tangena, sebuah pengadilan dengan hukuman meminum sari bunga tangena, tanaman beracun yang hanya ada di Madagaskar. Hanya beberapa detik setelah tangena memasuki pencernaan, terdakwa akan mengalami kejang-kejang, mulutnya berbuih-buih, matanya melotot, dan akhirnya lepas nyawa dari raga. Entah mengapa, malaikat maut pun menjemput paksa dengan kejam pula, setali tiga uang dengan Ratu Ranavalona.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar