Kamis, 28 April 2022

MAAFKAN AKU - cerpen

 





Dimana aku? Semuanya serba gelap. Tak kulihat sedikitpun cahaya menerangi tempatku sekarang berada. Dingin! Tiba-tiba aku merasa dingin menggigit sekujur tulangku. Dan aku tak bisa bergerak! Sama sekali! Apa yang terjadi denganku? Kakiku... Tanganku... Kenapa semuanya kaku? Tolooonggg... Suaraku mana? Kenapa mulutku tak mau membuka? Tolooonggg... Jangan-jangan... Apakah aku sudah mati? Apakah aku didalam kuburan? Aku belum siap mati Tuhan...

            “Jangan takut. Kamu tidak sendirian.” Sebuah suara mengejutkanku. Samar kulihat sesosok wanita datang mendekat. Aku tak mengenalnya sedikitpun.

            “Siapa kamu? Kita ada dimana? Dimana semua orang?” tanyaku bertubi-tubi sebelum dia benar-benar berada di dekatku.

            “Tenang. Sabar. Aku akan menjawab satu persatu pertanyaanmu. Aku adalah amal baikmu. Ah, kau pasti lupa. Ini aku, paku bengkok yang kau singkirkan di jalan waktu itu.”

            Degggg. Apa? Beararti aku sudah mati? Sejenak aku berusaha menginga-ingat kejadian yang baru saja kualami.

            Terakhir yang kuingat adalah aku mengerjakan soal ulangan semester. Hari terakhir yang sangat ditunggu-tunggu. setelah ini semuanya free. Lalu dalam perjalanan pulang aku bertemu seorang kawan lama dan pergi bersamanya. Kami boncengan naik motor menuju ke cafe di area Trawas. Kepingin ngadem, kata temanku. Maka berangkatlah kami ke Trawas. Dekat pertigaan arah Gondang tiba-tiba ada motor melaju kencang menyalip kami. Ah... iya akuk ingat! Kami terjatuh ke sebelah kanan jalan dan ada truk sedang melintas disana. Kepalaku perih. Saat aku sempat membuka mata, kulihat banyak orang menolong kami. Darah... ada dimana-mana. Aku masih mendengar suara sirene ambulan. Aku mendengar suara mama menangis disebelahku. Dan tiba-tiba aku sudah di tempat ini.

            “Hei Min ! Mengapa kau ada disini ? Sudah kubilang jaga Mama dan Xixi adikmu. Kenapa kau susul Papa ?” Tiba-tiba sosok Papa berjalan mendekat.

            Papa? Kenapa Papa ada disini? Tapi kan Papa sudah meninggal. Dan yang berdiri dihadapanku ini bukan Papa yang selama ini kukenal. Dia terlihat muda, ganteng, bersih, dan berwibawa. Eh, tapi... kok kayak Papa ya? Mungkinkah benar buku yang pernah kubaca dulu? Bahwa kalau sudah di alam barzah, semuanya kembali ke usia muda. Umur saat sedang jaya-jayanya manusia. Sepintas dia seperti Papa yang kulihat fotonya di album pernikahan.

            “Kok malah bengong ! Min.. hei...Amin ! Sudah sana kamu pulang saja. Kasihan mama menangis terus sejak tadi.” nadanya seperti biasa. Serba perintah. Min ini. Min itu. Sebuah nada yang tanpa kusadari, sebenarnya kurindukan. Semenjak Papa berpulang, tak ada lagi yang memerintahku. Tak ada lagi yang memarahiku. Aku bebas kemanapun aku mau. Bebas kapanpun aku ingin. Dan tak ada yang memarahiku. Hanya Mama, yang sempat kudengar setengah berbisik dalam doa malamnya, menyebut namaku, agar menjadi anak saleh kebanggaan keluarga.

            “Pa.... tapi aku ....” kalimatku terputus. Tiba-tiba Papa sudah menghilang dari hadapanku. Dan aku... membuka mata...

            “Mama...” lirih kupanggil wanita yang telah melahirkanku itu. Dia duduk disampingku. Menangis pilu. Xixi, adikku, dia bersimpuh disebelah Mama. Juga menangisiku. Tubuhku disemuti kain jarik. Rasa ngilu segera merayap disekujur badanku. Kucoba bangun. Tapi begitu kepala kuangkat, pening dan berat sekali rasanya.

            “Mama...Mama...” sekali lagi kusebut nama itu.

            “Min ! Amin ! Kau sudah  bangun, Nak ? Alhamdulillah.. Terima kasih ya Allah...” Mama mengangkat kepalanya, mendongak menatapku. Terkejut. Barangkali aku tadi memang sudah mati.

            “Mama, maafkan aku...” sesak rasanya di dada. Aku tak bisa berkata-kata. Hanya ada air mata. Bulir yang tak lagi bisa aku menahannya. Pelan tapi pasti, butiran bening itu meluncur deras membasahi pipi. Buncah rasa sesal telah sekian lama menyakiti surgaku di dunia ini. Maafkan aku, Ma. Aku berjanji akan menjadi anak salih kebanggaanmu. Juga menjadi kakak yang baik buat Xixi. Mungkin Tuhan memberiku pelajaran kali ini. Sebuah hikmah mendalam saat aku mati suri.

             

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar