Dimana
aku? Semuanya serba gelap. Tak kulihat sedikitpun cahaya menerangi tempatku
sekarang berada. Dingin! Tiba-tiba aku merasa dingin menggigit sekujur
tulangku. Dan aku tak bisa bergerak! Sama sekali! Apa yang terjadi denganku?
Kakiku... Tanganku... Kenapa semuanya kaku? Tolooonggg... Suaraku mana? Kenapa
mulutku tak mau membuka? Tolooonggg... Jangan-jangan... Apakah aku sudah mati?
Apakah aku didalam kuburan? Aku belum siap mati Tuhan...
“Jangan takut. Kamu tidak
sendirian.” Sebuah suara mengejutkanku. Samar kulihat sesosok wanita datang
mendekat. Aku tak mengenalnya sedikitpun.
“Siapa kamu? Kita ada dimana? Dimana
semua orang?” tanyaku bertubi-tubi sebelum dia benar-benar berada di dekatku.
“Tenang. Sabar. Aku akan menjawab
satu persatu pertanyaanmu. Aku adalah amal baikmu. Ah, kau pasti lupa. Ini aku,
paku bengkok yang kau singkirkan di jalan waktu itu.”
Degggg. Apa? Beararti aku sudah
mati? Sejenak aku berusaha menginga-ingat kejadian yang baru saja kualami.
Terakhir yang kuingat adalah aku
mengerjakan soal ulangan semester. Hari terakhir yang sangat ditunggu-tunggu.
setelah ini semuanya free. Lalu dalam
perjalanan pulang aku bertemu seorang kawan lama dan pergi bersamanya. Kami
boncengan naik motor menuju ke cafe di area Trawas. Kepingin ngadem, kata
temanku. Maka berangkatlah kami ke Trawas. Dekat pertigaan arah Gondang
tiba-tiba ada motor melaju kencang menyalip kami. Ah... iya akuk ingat! Kami
terjatuh ke sebelah kanan jalan dan ada truk sedang melintas disana. Kepalaku
perih. Saat aku sempat membuka mata, kulihat banyak orang menolong kami.
Darah... ada dimana-mana. Aku masih mendengar suara sirene ambulan. Aku
mendengar suara mama menangis disebelahku. Dan tiba-tiba aku sudah di tempat
ini.
“Hei Min ! Mengapa kau ada disini ?
Sudah kubilang jaga Mama dan Xixi adikmu. Kenapa kau susul Papa ?” Tiba-tiba
sosok Papa berjalan mendekat.
Papa? Kenapa Papa ada disini? Tapi
kan Papa sudah meninggal. Dan yang berdiri dihadapanku ini bukan Papa yang
selama ini kukenal. Dia terlihat muda, ganteng, bersih, dan berwibawa. Eh,
tapi... kok kayak Papa ya? Mungkinkah benar buku yang pernah kubaca dulu? Bahwa
kalau sudah di alam barzah, semuanya kembali ke usia muda. Umur saat sedang
jaya-jayanya manusia. Sepintas dia seperti Papa yang kulihat fotonya di album
pernikahan.
“Kok malah bengong ! Min..
hei...Amin ! Sudah sana kamu pulang saja. Kasihan mama menangis terus sejak
tadi.” nadanya seperti biasa. Serba perintah. Min ini. Min itu. Sebuah nada
yang tanpa kusadari, sebenarnya kurindukan. Semenjak Papa berpulang, tak ada
lagi yang memerintahku. Tak ada lagi yang memarahiku. Aku bebas kemanapun aku
mau. Bebas kapanpun aku ingin. Dan tak ada yang memarahiku. Hanya Mama, yang
sempat kudengar setengah berbisik dalam doa malamnya, menyebut namaku, agar
menjadi anak saleh kebanggaan keluarga.
“Pa.... tapi aku ....” kalimatku terputus.
Tiba-tiba Papa sudah menghilang dari hadapanku. Dan aku... membuka mata...
“Mama...” lirih kupanggil wanita
yang telah melahirkanku itu. Dia duduk disampingku. Menangis pilu. Xixi,
adikku, dia bersimpuh disebelah Mama. Juga menangisiku. Tubuhku disemuti kain jarik.
Rasa ngilu segera merayap disekujur badanku. Kucoba bangun. Tapi begitu kepala
kuangkat, pening dan berat sekali rasanya.
“Mama...Mama...” sekali lagi kusebut
nama itu.
“Min ! Amin ! Kau sudah bangun, Nak ? Alhamdulillah.. Terima kasih ya
Allah...” Mama mengangkat kepalanya, mendongak menatapku. Terkejut. Barangkali
aku tadi memang sudah mati.
“Mama, maafkan aku...” sesak rasanya
di dada. Aku tak bisa berkata-kata. Hanya ada air mata. Bulir yang tak lagi
bisa aku menahannya. Pelan tapi pasti, butiran bening itu meluncur deras
membasahi pipi. Buncah rasa sesal telah sekian lama menyakiti surgaku di dunia
ini. Maafkan aku, Ma. Aku berjanji akan menjadi anak salih kebanggaanmu. Juga
menjadi kakak yang baik buat Xixi. Mungkin Tuhan memberiku pelajaran kali ini.
Sebuah hikmah mendalam saat aku mati suri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar