Jumat, 29 April 2022

NILAI BUKAN SEKADAR ANGKA - fiksa (fiksi nyata)

 


NILAI BUKAN SEKADAR ANGKA

 

            Senja di langit mulai menjingga. Tak lama lagi mentari sirna. Sudah beberapa bulan aku tak lagi bisa menikmati waktu favoritku ini. Sepenggal waktu yang ingin kunikmati sendiri, melepas penat setelah seharian melayani daring di setiap kelas. Sesungguhnya ternyata pembelajaran jarak jauh sangat menyita waktu.

Belum lima menit me time, tiba-tiba ponselku berbunyi tanda ada pesan masuk.

“Mam, mohon maaf saya mau minta perpanjangan waktu untuk menyelesaikan semua tugas saya. Saya janji akan menyelesaikannya dalam waktu satu minggu.” pesan wa dari siswa.

Hamidah. Siswi satu ini tercatat kurang 5 tugas di mata pelajaranku, Sastra Inggris. Sepuluh tugas dan UH Bahasa Indonesia. Tiga belas tugas Bahasa Jawa. Empat tugas Matematika. Tujuh tugas prakarya. Dalam waktu satu minggu menjelang pembagian rapor, apakah dia bisa menyelesaikan semuanya? Selama daring di rumah, ngapain saja? Rasanya emosi sudah sampai ke ubun-ubun kalo ada kasus seperti ini.

“Iya mbak Mida, segera ya. Mam tunggu. Seminggu lagi berarti tanggal 13 Juni. Mam harap tidak molor lagi.”

Aku berusaha sabar, masih menggunakan bahasa yang halus saat menjawab pesan dari Hamidah. Aku berusaha membangkitkan Hamidah dari keterpurukan mental. Ibunya meninggal sehari setelah dia kembali dari study tour ke Jogja. Apalagi dia tipe anak mama. Manja, minta diperhatikan, dan masih perlu banyak bimbingan. Aku tahu dia sangat terpukul. Dan tragisnya lagi, tiga bulan setelah ibunya meninggal, ayahnya menikah lagi.

“Hamida, tolong besok bisa datang ke sekolah. Sebentar saja. Ada yang perlu kita bicarakan.” kuputuskan mengirim wa singkat. Masalah ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan menunggu.

Aku tahu dengan tanggungan tugas yang bejibun seperti itu, tak mungkin dia dapat  menyelesaikannya. Pun juga dengan menghubungi orang tuanya, ayah dan ibunya yang baru. Jika aku berada di posisinya, mungkin aku akan mengalami hal yang sama. Malah bisa jadi akan lebih parah lagi.

“Mbak Hamidah. Sini duduk di dekat Mam. Gimana kabarnya. Kamu sehat? Kok kelihatan tambah kurus? Ayolah cerita sama Mam. Mungkin Mam bisa bantu.”

Kuelus pelan punggungnya. Setengah berbisik kutanya apakah ibunya yang baru galak, sampai dia jadi kurus kering begini? Airmatanya langsung meluber. Menetes tak bisa berhenti, membasahi kerudung coklatnya. Semakin kutanya hal yang bersifat pribadi, semakin deras  tumpahnya. Aku ikut menangis juga.

Setelah semuanya reda, barulah dia menjelaskan kalau memang selama ini dia masih sedih ditinggal ibunda tercintanya. Makan tak enak, tidur pun tak nyenyak. Jangankan mengerjakan tugas sekolah. Menata hati saja dia belum bisa. Ditambah lagi pernikahan ayahnya. Belum sembuh luka ditinggal ibu, kini dia harus adaptasi dengan ibu baru. Di mata seorang anak perempuan, posisi ibu itu suci, sakral, tak boleh sembarangan diganti.

Kalau sudah begini, guru mana yang tega masih menagih tugas dan ulangan harian? Benar-benar bagaikan makan buah simalakama. Pilihan yang sangat sulit. Menagih tugas tak sampai hati. Jika dibiarkan, dapat nilai dari mana lagi?

Dan pada akhirnya, semua kasus seperti ini akan berujung pada nurani. Sebuah pemahaman, bahwa tak semua nilai dihitung berdasarkan angka-angka pasti. Tak bisa dilihat secara hitam putih. Menjadi pendidik berarti harus lebih mengasah hati. Bahwa kesuksesan tidak hanya diukur dari peringkat, dan siswa siswi, mereka menuntut ilmu, berarti tengah menjalani proses pendewasaan diri.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar