NILAI BUKAN SEKADAR ANGKA
Senja
di langit mulai menjingga. Tak lama lagi mentari sirna. Sudah beberapa bulan
aku tak lagi bisa menikmati waktu favoritku ini. Sepenggal waktu yang ingin
kunikmati sendiri, melepas penat setelah seharian melayani daring di setiap
kelas. Sesungguhnya ternyata pembelajaran jarak jauh sangat menyita waktu.
Belum lima menit me time, tiba-tiba ponselku berbunyi
tanda ada pesan masuk.
“Mam, mohon maaf saya mau
minta perpanjangan waktu untuk menyelesaikan semua tugas saya. Saya janji akan
menyelesaikannya dalam waktu satu minggu.” pesan wa dari siswa.
Hamidah. Siswi satu ini
tercatat kurang 5 tugas di mata pelajaranku, Sastra Inggris. Sepuluh tugas dan
UH Bahasa Indonesia. Tiga belas tugas Bahasa Jawa. Empat tugas Matematika.
Tujuh tugas prakarya. Dalam waktu satu minggu menjelang pembagian rapor, apakah
dia bisa menyelesaikan semuanya? Selama daring di rumah, ngapain saja? Rasanya
emosi sudah sampai ke ubun-ubun kalo ada kasus seperti ini.
“Iya mbak Mida, segera ya.
Mam tunggu. Seminggu lagi berarti tanggal 13 Juni. Mam harap tidak molor lagi.”
Aku berusaha sabar, masih
menggunakan bahasa yang halus saat menjawab pesan dari Hamidah. Aku berusaha membangkitkan
Hamidah dari keterpurukan mental. Ibunya meninggal sehari setelah dia kembali dari
study tour ke Jogja. Apalagi dia tipe anak mama. Manja, minta diperhatikan, dan
masih perlu banyak bimbingan. Aku tahu dia sangat terpukul. Dan tragisnya lagi,
tiga bulan setelah ibunya meninggal, ayahnya menikah lagi.
“Hamida, tolong besok bisa
datang ke sekolah. Sebentar saja. Ada yang perlu kita bicarakan.” kuputuskan
mengirim wa singkat. Masalah ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan menunggu.
Aku tahu dengan tanggungan
tugas yang bejibun seperti itu, tak mungkin dia dapat menyelesaikannya. Pun juga dengan menghubungi
orang tuanya, ayah dan ibunya yang baru. Jika aku berada di posisinya, mungkin
aku akan mengalami hal yang sama. Malah bisa jadi akan lebih parah lagi.
“Mbak Hamidah. Sini duduk
di dekat Mam. Gimana kabarnya. Kamu sehat? Kok kelihatan tambah kurus? Ayolah
cerita sama Mam. Mungkin Mam bisa bantu.”
Kuelus pelan punggungnya.
Setengah berbisik kutanya apakah ibunya yang baru galak, sampai dia jadi kurus
kering begini? Airmatanya langsung meluber. Menetes tak bisa berhenti,
membasahi kerudung coklatnya. Semakin kutanya hal yang bersifat pribadi,
semakin deras tumpahnya. Aku ikut
menangis juga.
Setelah semuanya reda,
barulah dia menjelaskan kalau memang selama ini dia masih sedih ditinggal
ibunda tercintanya. Makan tak enak, tidur pun tak nyenyak. Jangankan
mengerjakan tugas sekolah. Menata hati saja dia belum bisa. Ditambah lagi
pernikahan ayahnya. Belum sembuh luka ditinggal ibu, kini dia harus adaptasi
dengan ibu baru. Di mata seorang anak perempuan, posisi ibu itu suci, sakral,
tak boleh sembarangan diganti.
Kalau sudah begini, guru
mana yang tega masih menagih tugas dan ulangan harian? Benar-benar bagaikan
makan buah simalakama. Pilihan yang sangat sulit. Menagih tugas tak sampai
hati. Jika dibiarkan, dapat nilai dari mana lagi?
Dan pada akhirnya, semua
kasus seperti ini akan berujung pada nurani. Sebuah pemahaman, bahwa tak semua
nilai dihitung berdasarkan angka-angka pasti. Tak bisa dilihat secara hitam
putih. Menjadi pendidik berarti harus lebih mengasah hati. Bahwa kesuksesan
tidak hanya diukur dari peringkat, dan siswa siswi, mereka menuntut ilmu,
berarti tengah menjalani proses pendewasaan diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar