Bagian 14
SAKIT MEMBAWA BERKAH
PoV
Hayam Wuruk
Hari ini aku sedang tak enak badan. Sekujur
tubuhku rasanya ngilu. Panas tapi menggigil kedinginan. Mulut rasanya pahit.
Tenggorokan juga dipakai menelan sangat sakit. Sepertinya aku kecapekan sehabis
keliling kawasan Nusa Tenggara kemarin.
Padahal
jam sepuluh nanti aku harus menghadiri sidang pengadilan pembagian warisan. Rakyat sedang membutuhkanku. Tapi untuk bangun
dari tempat tidur saja saja aku tak sanggup.
Kulihat
Sri Sudewi hilir mudik ke kamarku. Sepertinya dia sedang menyuruh dayang-dayang
memanggil tabib istana untuk memeriksa keadaanku.
“Yang
Mulia, ijinkan hamba memeriksa,” kudengar Paman Sora, tabib istana berkata.
Kuserahkan
tangan kiri untuk diperiksa. Setelah mengecek denyut nadiku, si tabib membuka
mataku, melihat kedalamnya. Setelah itu perutku pelan ditekan, sampai bagian
dimana aku meringis kesakitan.
“Yang
Mulia hanya kecapekan biasa. Ditambah masuk angin yang sudah akut. Baginda
tidak boleh terlambat makan. Nanti akan saya buatkan rebusan dedaunan untuk
obatnya. Sementara harus beristirahat dulu jangan beraktivitas berat selama
satu minggu.”
“Ya,
Paman Sora. Aku tahu. Lekas buatkan aku obatnya. Pergilah. Aku mau tidur.”
“Sri
Sudewi, aku minta nanti kau yang datang ke sidang. Gantikan aku sementara
waktu.”
“Siap,
Baginda.”
Aku
tak tahan lagi. Kelopak mataku terasa sangat berat sekali. Aku segera tertidur.
Saat terbangun tengah malam, kudapati seseorang sedang megompres dahiku. Entah
sudah berapa lama aku tidur.
“Kau
siapa? Apa yang kau lakukan disini?”
“Hamba
Dayang Ayana, Yang Mulia. Hamba ditugaskan permaisuri Padukasori merawat baginda
raja.”
Sri
Sudewi menyuruh dayang merawatku. Dasar istri tak berguna! Suami sakit malah
orang lain yang merawat. Ah biarkan saja. Lagipula dia dan aku hanya sebatas
jabatan saja.
“Terima
kasih, Ayana. Tolong ambilkan aku minum. Aku haus sekali. Aku mau makan
beberapa suap. Apakah ada bubur yang bisa kumakan?”
Ayana
dengan telaten menyuapiku, mengambilkan minum, dan menyeka dahi serta lenganku.
Kulihat wajahnya. Dia ayu. Belum pernah kulihat dayang istana seperti itu.
“Ayana,
sejak kapan kamu menjadi dayang istana? Kenapa aku tak pernah melihatmu sebelumnya?”
Aku bertanya untuk mencairkan susana.
“Apakah
Baginda lupa? Hamba dibawa oleh Paduka Raja Melayu untuk hadiah perkawinan
Baginda.” Malu-malu dia menundukkan muka.
Hadiah
perkawinan diberikan perempuan secantik ini? Kalau begitu aku harus menikah
berkali-kali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar