Senin, 11 April 2022

TEMPIAR KASIH - Bag 14

 

Bagian 14

 


SAKIT MEMBAWA BERKAH

 

PoV Hayam Wuruk

 

            Hari ini aku sedang tak enak badan. Sekujur tubuhku rasanya ngilu. Panas tapi menggigil kedinginan. Mulut rasanya pahit. Tenggorokan juga dipakai menelan sangat sakit. Sepertinya aku kecapekan sehabis keliling kawasan Nusa Tenggara kemarin.

Padahal jam sepuluh nanti aku harus menghadiri sidang pengadilan pembagian warisan.  Rakyat sedang membutuhkanku. Tapi untuk bangun dari tempat tidur saja saja aku tak sanggup.

Kulihat Sri Sudewi hilir mudik ke kamarku. Sepertinya dia sedang menyuruh dayang-dayang memanggil tabib istana untuk memeriksa keadaanku.

“Yang Mulia, ijinkan hamba memeriksa,” kudengar Paman Sora, tabib istana berkata.

Kuserahkan tangan kiri untuk diperiksa. Setelah mengecek denyut nadiku, si tabib membuka mataku, melihat kedalamnya. Setelah itu perutku pelan ditekan, sampai bagian dimana aku meringis kesakitan.

“Yang Mulia hanya kecapekan biasa. Ditambah masuk angin yang sudah akut. Baginda tidak boleh terlambat makan. Nanti akan saya buatkan rebusan dedaunan untuk obatnya. Sementara harus beristirahat dulu jangan beraktivitas berat selama satu minggu.”

“Ya, Paman Sora. Aku tahu. Lekas buatkan aku obatnya. Pergilah. Aku mau tidur.”

“Sri Sudewi, aku minta nanti kau yang datang ke sidang. Gantikan aku sementara waktu.”

“Siap, Baginda.”

Aku tak tahan lagi. Kelopak mataku terasa sangat berat sekali. Aku segera tertidur. Saat terbangun tengah malam, kudapati seseorang sedang megompres dahiku. Entah sudah berapa lama aku tidur.

“Kau siapa? Apa yang kau lakukan disini?”

“Hamba Dayang Ayana, Yang Mulia. Hamba ditugaskan permaisuri Padukasori merawat baginda raja.”

Sri Sudewi menyuruh dayang merawatku. Dasar istri tak berguna! Suami sakit malah orang lain yang merawat. Ah biarkan saja. Lagipula dia dan aku hanya sebatas jabatan saja.

“Terima kasih, Ayana. Tolong ambilkan aku minum. Aku haus sekali. Aku mau makan beberapa suap. Apakah ada bubur yang bisa kumakan?”

Ayana dengan telaten menyuapiku, mengambilkan minum, dan menyeka dahi serta lenganku. Kulihat wajahnya. Dia ayu. Belum pernah kulihat dayang istana seperti itu.

“Ayana, sejak kapan kamu menjadi dayang istana? Kenapa aku tak pernah melihatmu sebelumnya?” Aku bertanya untuk mencairkan susana.

“Apakah Baginda lupa? Hamba dibawa oleh Paduka Raja Melayu untuk hadiah perkawinan Baginda.” Malu-malu dia menundukkan muka.

Hadiah perkawinan diberikan perempuan secantik ini? Kalau begitu aku harus menikah berkali-kali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar