Bagian
24
MURKA
RAJA
PoV Hayam Wuruk
“Yang Mulia, permaisuri Paduka
Sori mencari Baginda,” kudengar suara
pengawal di depan pintu kamar.
Tak biasanya Sri Sudewi mencariku.
Ada apa? Tak pernah sekalipun dia membutuhkan aku. Dia hanya menemuiku jika ada
sesuatu hal yang diinginkannya. Bahkan usia kehamilannya yang mulai menua tak sedikitpun membuat dia kelelahan. Seperti
baterai energizer saja.
“Ka..Ka...,” ucapnya gagap saat aku
membuka pintu.
“Iya ada apa, Dinda?” Seribu tanya
berputar di kepalaku mendengar dia tak lancar bicara.
“Ka...Kang...Mas...Ra...Ra..ja...A...a...ku...”
dia panik sambil memegang lehernya.
“Berhenti bicara! Pengawal! Lekas
panggil tabib istana! Suruh datang saat ini juga ke bilik Paduka Sori.
Sekarang!!!” segera kuperintahkan pengawal ke Paman Sora, tabib istana.
“Dinda, mari kita ke ruanganmu,” kuajak
Sri Sudewi kembali ke kamarnya.
Tak seberapa lama kemudian tabib
datang dan memeriksa nadi Sri Sudewi.
“Tak ada hal yang aneh, Yang Mulia.
Semuanya baik. Kondisi permaisuri bagus. Janin yang dikandungnya juga sehat,”
Paman Sora berkata.
“Tapi kenapa dia tak bisa bicara,
Paman?” aku semakin penasaran.
“Mungkin permaisuri mengalami Insidental Stuck, Baginda. Kondisi
tiba-tiba yang membuat orang tak bisa bicara. Hamba akan coba rebus beberapa
dedaunan untuk obatnya. Ditambah dengan beberapa hari istirahat, permaisuri akan
segera pulih. Baiklah, hamba undur diri dulu,” lanjut tabib Sora.
“Baiklah, kamu boleh pergi, Paman
Sora. Terima kasih atas bantuanmu.” aku mengantar kepergian Paman Sora hingga
ke pintu.
“Yang Mulia, kalau boleh hamba
menyarankan, bertanyalah pada Kebo Ireng, dukun istana. Saya curiga penyakit
permaisuri ada kaitannya dengan ilmu hitam,” sambil berjalan beriringan, setengah
berbisik Paman Sora berkata sembari melirik kiri kanan, seperti takut terdengar
orang lain.
Hemmm...Ada apa lagi ini? Permaisuri
diguna-guna? Mengapa? Siapa? Seribu tanya segera bergelayut di pikiranku. Aku
sungguh tak suka jika berhadapan dengan masalah yang tak bisa diurai dengan
logika.
“Pengawal! Siapkan kuda! Ikuti aku!”
Kuperintahkan beberapa pengawal mengikutiku.
Aku segera memacu Si Putih, kuda kesayanganku.
Kami mengendarai kuda menuju daerah Selatan, menuju kediaman Paman Kebo Ireng.
Dia adalah dukun kerajaan sejak era ibuku, ibunda ratu Tribuana Tunggadewi,
memerintah Majapahit ini.
“Paman Ireng, ada sesuatu hal yang
ingin kutanyakan padamu,” ucapku saat dia menyambut kedatanganku.
“Siap, Yang Mulia. Hamba sudah
mengetahui maksud kedatangan Paduka Raja. Kita bicara di dalam, Baginda.
Silakan.” Paman Ireng memilin kumisnya sambil menatapku tajam, memperilakan aku
masuk.
Sejenak aku lupa bahwa dia adalah
Paman Kebo Ireng, dukun istana, yang terkenal sakti mandraguna. Tentu saja dia
tahu segala hal tanpa kita mengatakannya.
“Sri Baginda, hamba akui. Yang Mulia
sungguh cerdas sekali. Buktinya, anda langsung datang kesini. Yang anda
pikirkan memang benar. Permaisuri terkena guna-guna.”
“Siapa yang berani melakukannya,
Paman?” Emosiku sudah sampai ke ubun-ubun. Kurang ajar sekali dia berani
mengganggu anggota keluarga kerajaan.
“Sabarlah, anakku. Dengarkan dulu
penjelasanku. Ini sebenarnya adalah ulah dari permaisuri sendiri. Awalnya,
dialah yang mengirim teluh untuk Ayana, selirmu. Tapi karena Ayana ini bukan
wanita biasa, guna-guna ini berbalik arah mengenainya.” Panjang lebar Paman
Ireng mengurai masalah ini.
Aku hanya bisa menghela napas dalam
dan menepis emosi. Siapa yang menyangka, bahwa Sri Sudewi ingin menyingkirkan
Ayana? Bertemu muka saja mereka tidak pernah. Menyapa apa lagi.
“Paduka, apakah anda tahu? Ayana itu
ilmunya bahkan hampir menyamaiku. Dia menguasai ilmu “Mantra Sakti Sukma” yang
tak sembarang dikuasai manusia. Bahkan seorang raja besar seperti anda, bukan
tandingannya. Jadi jangan pernah merehkan Ayana, meskipun statusnya hanyalah “selir
raja.” Selama ini dia menyembunyikan semuanya dari Yang Mulia. Namun satu hal
yang hamba tahu pasti. Ilmu Ayana adalah ilmu putih. Artinya, dia wanita yang
baik. Jangan mengecewakannya. Sebab jika dia sakit hati, sekali saja, maka
Majapahit akan binasa.”
Aku hanya mampu terbengong-bengong
saja mendengar penuturan Paman Kebo Ireng. Sungguh, aku tak pernah menyangka
Ayana berlatar belakang istimewa. Dan aku terkejut bukan kepalang, saat tahu
bahwa permaisuri sendiri yang memulai semua ini. Mendidih rasanya darahku. Sri
Sudewi! Akhirnya kau menampakkan wajahmu yang asli! Dia yang menabur angin,
maka aku akan hempaskan badai di hidupnya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar