Bagian 23
SIAPA MENABUR ANGIN AKAN MENUAI BADAI
Dayang Manu sudah tujuh hari ini pergi
melaksanakan perintahku. Bersama beberapa pengawal kepercayaan, ia menuju
Banyuwangi, ke rumah dukun sakti. Semua bekal yang diperlukan telah
dipersiapkan. Diantaranya yaitu 7 ekor ayam jantan hitam, kembang 7 rupa yang
dipetik dari Alas Purwo (hutan angker di Banyuwangi), dan 7 macam dupa.
Aku menunggu kedatangan mereka dengan
perasaan was-was. Hatiku dipenuhi kekhawatiran, apakah Manu berhasil dalam misi
atau malah kandas di tengah jalan.
Hari ke delapan. Manu datang dengan
wajah berseri-seri, menandakan kesuksesan misi kami. Dewa keberuntungan memang
sedang memihak padaku. Hanya tinggal menunggu waktu, kapan teluh itu akan
dikirimkan pada maduku. Rasakan kau, Ayana! Pergilah kau ke neraka!
Hahaha...
Kamis malam jum’at legi tiba. Aku
berdebar menunggu peristiwa gempar yang akan terjadi. Manu membawa pesan dari
Mbah Suketi, si dukun sakti, kalau dia akan beraksi malam ini. Menjelang tengah
malam, mataku semakin terjaga. Aku menajamkan telinga, ingin tahu akan ada apa.
Aku dan Manu bersembunyi di balik pohon kamboja rindang yang dekat dengan bilik
Ayana.
Tengah malam telah lewat. Aku melihat
Kangmas Raja dan Ayana bergandengan mesra berjalan melalui koridor istana.
Darimana mereka berdua malam-malam begini?
“Yang mulia Paduka Sori, apakah sudah
tahu? Tiap kamis malam jum’at mereka berdua melakukan ritual sembahyang di
Candipura. Jadi, pasti kali ini juga dari sana,” kata Dayang Manu berbisik di
telingaku.
Tak lama setelah itu, kulihat bola api
terbang secepat kilat menuju atap bilik kamar Ayana. Bola api itu pecah
tiba-tiba dan segera hilang tak bersisa begitu ia tepat diatas atap genteng
Ayana! Mission complete!
Aku puas dengan kerja Mbah Suketi.
Pelan tapi pasti. Aku hanya tinggal
menunggu esok hari. Aku dan Manu mengakhiri pengintaian dan kembali ke kamar.
Akhirnya malam ini aku bisa tidur dengan tenang. Aku memejamkan mata dan
langsung terbang ke awang-awang.
Pagi hari tiba. Kulihat cahaya
matahari sudah terang saat kubuka mata. Aku bangun kesiangan ternyata. Kemana
Dayang Manu? Kenapa dia tak membangunkanku.
“Ma...nuuu!!! Ma...nuuu! Ma...,” suaraku...
kenapa dengan suaraku? Sudah kuteriakkan
nama Manu sekuat tenaga, tapi kenapa kedengarannya malah seperti orang gagap
yang bersuara?
Aku panik seketika. Segera aku turun
dari peraduan dan mengaca. Kuperiksa leherku. Terlihat biasa saja. Tapi kenapa
aku tak bisa bersuara? Aku pontang-panting mencari Dayang Manu ke segala
penjuru ruanganku. Namun Manu tak kunjung ketemu. Kurang ajar sekali dia berani
menipuku!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar