“Sejak
balita, anak-anak perempuan telah diberi pelajaran menari dan menyanyi. Seiring
dengan bertambahnya usia, mereka juga wajib mempelajari bela diri. Ada juga
pelajaran kesenian tradisional. Dan tepat pada usia lima belas tahun, kami
diikutsertakan dalam audisi putri persembahan. Tahap selanjutnya adalah
karantina di lingkungan istana untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang
baru nantinya. Menjelang keberangkatan, entah untuk persembahan raja siapa dari
negara mana, kami kembali dibekali dengan budaya dan bahasa tempat yang akan
menjadi tujuan kami nanti.”
“Benarkah begitu sayang? Kukira
hanya cukup kirim sembarang wanita.” ucap baginda.
“Tentu saja tidak, Yang Mulia.
Contohnya seperti hamba. Saya sudah dipersiapkan sebegitu rupa. Jadi saat tiba
di Majapahit, saya sudah bisa bahasa masyarakat setempat. Saya juga memahami
budaya Majapahit. Pun menguasai Mantra Sakti Sukma. Jadi ketika kita dilepas
oleh Raja Melayu, kami siap dari ujung rambut sampai ujung kaki, kami
persembahkan kepada siapa tuan yang kami layani.”
Aku memeluk Ayana erat. Semakin
mencintainya. Karena dia total dalam menjalankan tugasnya. Aku bahagia bersamannya. Dia yang kucinta,
memasrahkan diri menghamba pada sosok yang tak pernah dikenalnya.
“Ayana, dengarkan aku. Mulai
sekarang, kau bukan putri persembahan. Kau adalah pendamping hidupku. Belahan
jiwaku. Aku ingin menghabiskan sisa
umurku hanya bersamamu. Jangan pernah tinggalkan aku, sayang. Maukah kau menua
denganku?”
“Tentu saja, baginda raja. Saya
sangat bahagia.”
Surga...ah surga...tak kuingat lagi
tempatmu dimana. Bersama Ayana, aku tak inginkan lagi dunia.
THE
END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar