PoV
Hayam Wuruk
Perintah ibunda semakin menambah pikiranku
yang makin lama semakin suntuk. Aku tak bisa menikah dengan Sri Sudewi. Aku
tidak mencintainya. Hatiku tak bergetar sedikitpun untuknya. Bagiku menikah harus
diawali dengan rasa cinta. Bagaimana bisa bahagia jika tak ada rasa? Barangkali
seperti makan tanpa garam. Hambar pastinya.
Sri Sudewi. Mendengar namanya saja
aku sudah tak berselera. Bagaimana mungkin ibunda memilihkan dia dari sekian
banyak wanita? Meskipun dia cantik, tapi hatinya tak seindah parasnya. Sejak
kecil tumbuh bersama. Bagaimana mungkin aku tak mengenal sifatnya? Dia tipe
perempuan yang haus kuasa. Segala cara akan dia lakukan agar keinginannya
terwujud nyata. Sudah dari dulu aku menjauhinya.
Disisi lain, aku membenarkan kata
ibunda. Aku harus punya keturunan. Tak mungkin aku pergi tanpa penerus pemerintahan.
Bisa kacau semua saudara berebut kuasa. Apalagi Kerajaan Majapahit ini telah
menjadi kerajaan besar di nusantara. Dari Semenanjung Melayu hingga ke Timur
sana, hampir Australia.
Jadi, apa yang harus kulakukan?
Menikah pasti kujalani. Tapi, apakah tak ada pilihan selain Sri Sudewi? Ah,
lebih baik aku melobi ibunda agar mencari perempuan lainnya. Hemmm...kukira itu
ide yang sangat bagus.
“Pengawal, ikut aku ke Istana Barat.
Kita akan menemui Ibu Suri.” perintahku pada prajurit yang berjaga di depan ruangan
pribadiku.
“Siap, Yang Mulia.”
Sambil berjalan, aku memikirkan cara
yang paling tepat menyampaikan maksudku pada ibunda. Tak kuduga, di tengah perjalanan,
aku bertemu Sri Sudewi. Sepertinya dia baru saja dari Istana Barat. Senyum
sumringah tergambar di wajahnya yang cerah. Sambil malu-malu dia menyapaku.
“Kang Mas Raja,” sapanya.
“Hemmmm,” jawabku sambil berlalu.
Aku tak menoleh sedikitpun padanya. Apa-apaan ini. Kenapa dia memanggilku
seperti itu? Sejak kapan dia memanggilku “Kang Mas Raja”? Di istana ini, semua
orang memanggilku “Paduka” atau “Yang Mulia”. Sedangkan sebutan “Kang Mas Raja”
adalah panggilan sayang Putri Dyah Pitaloka untukku. Jangan-jangan, dia sudah
tahu kalau mau dijodohkan denganku? Aku harus secepatnya bertemu ibunda.
Kupercepat langkahku menuju Istana
Barat. Aku menapak kaki menuju balairung kecil, tempat ibunda menerima tamu.
Kulihat ayahanda prabu dan ibunda masih duduk berdua di sana. Di luar ruangan,
berjaga beberapa prajurit istana.
“Hormat ibunda. Ananda ingin bicara
empat mata.”
“Bicaralah anakku. Kami berdua
mendengarkanmu.”
“Ibu, aku sudah berpikir semalaman.
Bahwa aku akan menyetujui pendapat ibu tentang pernikahan. Ya. Aku setuju
menikah. Tapi aku punya syarat, Bu. Aku mau menikah tapi tidak dengan Sri
Sudewi. Apakah ibu bisa mencarikan perempuan lain untukku?” paparku panjang lebar.
“Tapi kenapa, Nak? Dia anak yang cantik
dan baik. Apa yang membuatmu berpikir dia tak pantas berada di sisimu?” tanya
ibunda ingin tahu.
“Ibunda, ananda tahu Sri Sudewi itu
seperti apa. Kami tumbuh bersama sejak balita. Seperti apa perangainya, ananda
hafal di luar kepala. Dia memang cantik. Namun sifatnya sangat jauh dari kata baik.”
Aku bimbang apakah aku harus mengatakan semua keburukan sifatnya. Tapi rasanya
tak pantas kukatakan semua itu.
“Anakku, Sri Baginda Maharaja Sri
Rajasanagara,” ibunda berkata. Biasanya jika beliau menyebut namaku seperti
ini, artinya apa yang menjadi keputusannya tak akan dapat berubah begitu saja.
“Menikahlah dengan Sri Sudewi. Dia
akan menjadi pendamping yang bisa kau andalkan. Dia perempuan yang pintar. Pengetahuannya cukup luas. Dia bisa bisa
menjadi teman diskusi yang menyenangkan.”
Tuh kan. Apa kubilang. Kalau sudah
seperti ini, mau tak mau titahnya harus kuturuti. Aku tak bisa melawan perintah
ibunda, karena itu bisa jadi malapetaka. Dewa-dewa akan murka saat ada seorang
anak berani menentang ibunya.
“Baiklah ibunda.” Aku hanya bisa
menundukkan kepala. Aku tak bisa membantah lagi. Meskipun di kerajaan ini aku
yang berkuasa, namun saat berhadapan dengan ayahanda prabu dan ibunda, aku tak
berdaya. Bagai macan kehilangan taringnya. Kami, keluarga istana, kehidupan
kami selalu diatur oleh para tetua. Dalam urusan pemerintahan dengan dunia luar
istana, bisa jadi aku yang mengaturnya, membuat keputusan, bahkan meju
berperang. Namun di dalam, 180 derajat berbeda.
“Prajurit, segera sampaikan perintahku pada EO (Event Organizer) istana.
Perintahkan memulai persiapan pernikahan. Aku akan menikah minggu depan.”
titahku
“Siap Yang Mulia.”
Era pemerintahanku kubuat agak
sedikit beda dengan masa ibunda Tribhuana Tunggadewi dulu. Aku membuat EO yang
khusus menangani setiap acara kerajaan. Mereka adalah tim handal yang focus in
detail. Aku suka itu. Membuat seluruh agenda perjamuan menjadi istimewa tanpa
cela.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar