Senin, 04 April 2022

TEMPIAR KASIH - Bag 8

 

Bagian 8



Titah Ibu Suri





PoV Hayam Wuruk

 

            Perintah ibunda semakin menambah pikiranku yang makin lama semakin suntuk. Aku tak bisa menikah dengan Sri Sudewi. Aku tidak mencintainya. Hatiku tak bergetar sedikitpun untuknya. Bagiku menikah harus diawali dengan rasa cinta. Bagaimana bisa bahagia jika tak ada rasa? Barangkali seperti makan tanpa garam. Hambar pastinya.

            Sri Sudewi. Mendengar namanya saja aku sudah tak berselera. Bagaimana mungkin ibunda memilihkan dia dari sekian banyak wanita? Meskipun dia cantik, tapi hatinya tak seindah parasnya. Sejak kecil tumbuh bersama. Bagaimana mungkin aku tak mengenal sifatnya? Dia tipe perempuan yang haus kuasa. Segala cara akan dia lakukan agar keinginannya terwujud nyata. Sudah dari dulu aku menjauhinya.

            Disisi lain, aku membenarkan kata ibunda. Aku harus punya keturunan. Tak mungkin aku pergi tanpa penerus pemerintahan. Bisa kacau semua saudara berebut kuasa. Apalagi Kerajaan Majapahit ini telah menjadi kerajaan besar di nusantara. Dari Semenanjung Melayu hingga ke Timur sana, hampir Australia.

            Jadi, apa yang harus kulakukan? Menikah pasti kujalani. Tapi, apakah tak ada pilihan selain Sri Sudewi? Ah, lebih baik aku melobi ibunda agar mencari perempuan lainnya. Hemmm...kukira itu ide yang sangat bagus.

            “Pengawal, ikut aku ke Istana Barat. Kita akan menemui Ibu Suri.” perintahku pada prajurit yang berjaga di depan ruangan pribadiku.

            “Siap, Yang Mulia.”

            Sambil berjalan, aku memikirkan cara yang paling tepat menyampaikan maksudku pada ibunda. Tak kuduga, di tengah perjalanan, aku bertemu Sri Sudewi. Sepertinya dia baru saja dari Istana Barat. Senyum sumringah tergambar di wajahnya yang cerah. Sambil malu-malu dia menyapaku.

            “Kang Mas Raja,” sapanya.

            “Hemmmm,” jawabku sambil berlalu. Aku tak menoleh sedikitpun padanya. Apa-apaan ini. Kenapa dia memanggilku seperti itu? Sejak kapan dia memanggilku “Kang Mas Raja”? Di istana ini, semua orang memanggilku “Paduka” atau “Yang Mulia”. Sedangkan sebutan “Kang Mas Raja” adalah panggilan sayang Putri Dyah Pitaloka untukku. Jangan-jangan, dia sudah tahu kalau mau dijodohkan denganku? Aku harus secepatnya bertemu ibunda.

            Kupercepat langkahku menuju Istana Barat. Aku menapak kaki menuju balairung kecil, tempat ibunda menerima tamu. Kulihat ayahanda prabu dan ibunda masih duduk berdua di sana. Di luar ruangan, berjaga beberapa prajurit istana.

            “Hormat ibunda. Ananda ingin bicara empat mata.”

            “Bicaralah anakku. Kami berdua mendengarkanmu.”

            “Ibu, aku sudah berpikir semalaman. Bahwa aku akan menyetujui pendapat ibu tentang pernikahan. Ya. Aku setuju menikah. Tapi aku punya syarat, Bu. Aku mau menikah tapi tidak dengan Sri Sudewi. Apakah ibu bisa mencarikan perempuan lain untukku?” paparku panjang lebar.

            “Tapi kenapa, Nak? Dia anak yang cantik dan baik. Apa yang membuatmu berpikir dia tak pantas berada di sisimu?” tanya ibunda ingin tahu.

            “Ibunda, ananda tahu Sri Sudewi itu seperti apa. Kami tumbuh bersama sejak balita. Seperti apa perangainya, ananda hafal di luar kepala. Dia memang cantik. Namun sifatnya sangat jauh dari kata baik.” Aku bimbang apakah aku harus mengatakan semua keburukan sifatnya. Tapi rasanya tak pantas kukatakan semua itu.

            “Anakku, Sri Baginda Maharaja Sri Rajasanagara,” ibunda berkata. Biasanya jika beliau menyebut namaku seperti ini, artinya apa yang menjadi keputusannya tak akan dapat berubah begitu saja.

            “Menikahlah dengan Sri Sudewi. Dia akan menjadi pendamping yang bisa kau andalkan. Dia perempuan yang pintar.  Pengetahuannya cukup luas. Dia bisa bisa menjadi teman diskusi yang menyenangkan.”

            Tuh kan. Apa kubilang. Kalau sudah seperti ini, mau tak mau titahnya harus kuturuti. Aku tak bisa melawan perintah ibunda, karena itu bisa jadi malapetaka. Dewa-dewa akan murka saat ada seorang anak berani menentang ibunya.

            “Baiklah ibunda.” Aku hanya bisa menundukkan kepala. Aku tak bisa membantah lagi. Meskipun di kerajaan ini aku yang berkuasa, namun saat berhadapan dengan ayahanda prabu dan ibunda, aku tak berdaya. Bagai macan kehilangan taringnya. Kami, keluarga istana, kehidupan kami selalu diatur oleh para tetua. Dalam urusan pemerintahan dengan dunia luar istana, bisa jadi aku yang mengaturnya, membuat keputusan, bahkan meju berperang. Namun di dalam, 180 derajat berbeda.

            “Prajurit, segera  sampaikan perintahku pada EO (Event Organizer) istana. Perintahkan memulai persiapan pernikahan. Aku akan menikah minggu depan.” titahku

            “Siap Yang Mulia.”

            Era pemerintahanku kubuat agak sedikit beda dengan masa ibunda Tribhuana Tunggadewi dulu. Aku membuat EO yang khusus menangani setiap acara kerajaan. Mereka adalah tim handal yang focus in detail. Aku suka itu. Membuat seluruh agenda perjamuan menjadi istimewa tanpa cela.   


Tidak ada komentar:

Posting Komentar