Episode : Pesanggrahan Bubat
Pesanggrahan Bubat, Lambang Cinta Suci Sang Maharaja
Awan hitam berarak memenuhi langit Majapahit sore itu. Jingga yang semula
melukis senja beranjak sendu. Semilir angin berganti topan. Hitam. Kelam.
Mencekam. Burung-burung yang semula menari riang alih berlarian, berlomba
mengepak sayap pulang. Anjing melolong menyayat menakutkan. Angin melumat
daun-daun yang lembut bergoyang. Bebungaan luruh rontok berguguran. Semesta
seolah sedang murka.
PoV Dyah Pitaloka Citraresmi
Aku sejenak memejam mata. Perlahan kurasakan pergolakan semesta. Degup
jantungku berkejaran tanpa jeda. Ada apa? Naluriku berkata bencana akan datang
segera.
Tanggal 13 bulan Asujimasa 1279 Saka. Hari ini hari kedua aku bersama ayahanda
Raja Prabu Linggabuana Wisesa dan ibunda Ratu Dewi Lara Linsing, dengan seluruh
iring-iringan Kerajaan Sunda menghirup udara Majapahit. Lelah raga setelah
perjalanan jauh belum juga pulih. Empat puluh hari empat puluh malam kami naik
kereta kuda, dari tanah Pasundan menuju bumi Majapahit. Sebagian prajurit
pengawal berjalan kaki menapak jengkal demi jengkal bentala Jawa.
Letih badan seakan terobati manakala kami disambut meriah oleh rakyat
Majapahit. Sebuah pesangggrahan di daerah Bubat telah menanti kedatangan kami. Khusus
diperuntukkan bagi rombongan kerajaan untuk melepas penat perjalanan.
Petirahan ini yang ditata sangat apik. Indah. Penuh dengan fasilitas mewah
kerajaan. Bangunan artistik berarsitektur joglo nan luas berdiri kokoh anggun.
Tiang-tiangnya dari kayu jati. Kuat. Tak akan lapuk dimakan rayap hingga
puluhan tahun terlewati. Taman bunga yang menghias sekeliling peristirahatan
ini sangat mengagumkan. Sungguh. Keindahan dalam arti yang sesungguhnya. Dikara
tanpa cela.
Tempat permandian keluarga kerajaan pun tak kalah bagusnya. Air jernih
memancar di beberapa penjuru. Kolam rendam penuh bunga tujuh rupa siap menyapa
dan selalu diganti setiap harinya.
Tak hanya tempat tetirah yang mewah. Namun juga hidangan yang disajikan
teramat istimewa. Hampir semua jenis makanan dan buah-buahan tersedia. Betapa
luhurnya raja Majapahit ini. Menghormati tamu layaknya pesta.
Ah, Kangmas Raja. Begitu aku menyebutnya dalam risalah cinta. Aku sudah tak
sabar menanti esok hari. Kita akan bertemu di pelaminan, lambang pemersatu
cinta suci.
Di kursi mempelai itu nanti, Kangmas Hayam Wuruk, kekasih hatiku, akan
menungguku. Dialah Sri Rajasanagara atau Sang Hyang Wekasing Suka, seorang raja
yang bijaksana. Masih belia usianya saat tampuk pemerintahan berada dalam
genggamannya. Di mataku dia sosok pria idaman hati para puteri. Wajahnya bersinar
tampan berwibawa. Posturnya tinggi tegap gagah memancarkan aura. Siapapun pasti
jatuh cinta pada pandangan pertama.
PoV Hayam Wuruk
Sore ini aku bersama
beberapa punggawa sengaja berkeliling istana. Terutama balairung yang esok hari
akan menjadi pusat acara. Tak sabar aku ingin segera mempersunting puteri Dyah
Pitaloka Citraresmi, bidadari Kerajaan Sunda. Wajahnya cantik jelita. Kulitnya
kuning langsat. Rambut panjangnya tergerai indah hingga pinggang. Tinggi
langsing semampai. Saat dia berjalan, semua mata tak jemu memandang. Saat dia tersenyum, lesung pipit terlihat
merajai pipinya yang bersemu kemerahan.
Pakaian yang dia kenakan selalu anggun pas di badan. Apalagi saat dia
bernyanyi. Suaranya merdu bak buluh perindu. Mabuk kepayang aku disergap rindu.
Dyah Pitaloka Citraresmi. Putri pertama Raja Sunda Prabu Linggabuana itu
telah mencuri hatiku sejak awal jumpa. Halus tutur bahasanya. Elok perangainya.
Satu kata untuk sang pujaan hati: mempesona. Hatiku semakin bergelora. Aku
harus bisa bersanding dengannya.
Persiapan telah paripurna.
Pelaminan sudah dihias penuh bunga-bunga. Ornamen-ornamen khas kerajaan
Majapahit dan Sunda dipajang dimana-mana. Warna merah dan emas mendominasi
hampir disetiap sudutnya. Dupa khusus keraton pun mulai dibakar perlahan.
Wanginya memenuhi seluruh ruangan. Harumnya bernada cinta kasih berbalut
sayang.
“Paduka Raja, semua sudah
siap!” sekretaris kerajaan melaporkan.
“Kerja bagus, Patih
Halayuda. Terima kasih sudah mendukungku sejauh ini. Kau tahu? Aku bahkan tak melihat Patih Mada seharian. Firasatku mengatakan dia
tak senang dengan pernikahanku ini.” Hayam Wuruk bersabda.
“Beliau sedang berlatih
bersama para prajurit kerajaan, Paduka.” kata Patih Halayuda.
“Oh, jadi begitu. Pantas saja tak kulihat dimanapun. Oh ya, beri tahu Mpu
Prapanca, jangan lupa merekam peristiwa penting dalam sejarah Majapahit.
Bersatunya dua hati, bersatunya dua kerajaan.”
“Baik, Yang Mulia.”
Aku menghela nafas lega. Semua yang kurencanakan esok bakal terlaksana.
Sekelebat aku teringat bidadari pujaan hati. Sedang apa dia disana? Semoga dia
suka pesanggrahan itu. Aku memang membangun rumah peristirahatan itu khusus
untuknya, sebagai bukti bahwa aku sangat mencintanya.
PoV Dyah Pitaloka
Kulihat awan hitan
bergelayutan sejak tadi. Semilir angin berganti topan. Menderu. Mengganas.
Mengiris hati.
Tiba-tiba dari kejauhan kulihat rombongan prajurit berlari. Ada apa?
Mengapa mereka menghunus senjata?
“Ayahandaaaa!!! Cepatlah kemari!!! Lihatlah jauh disana. Prajurit Majapahit
menuju kemari. Tapi mengapa mereka seperti mau berperang?” cericitku ketakutan.
Maharaja Linggabuana segera bangkit menuju tempatku berdiri. Dilihatnya
ribuan tentara bersenjata menuju pesanggrahan yang sedang dihuninya.
“Kurang ajar Majapahit ini!!! Mereka menipu kita! Patih Sora. Cepat siapkan
pasukan! Kita berperang.” titah sang raja.
“Paduka, utusan dari Majapahit datang. Ingin bertemu Yang Mulia.”
“Persilakan masuk!” titah sang prabu.
“Raja Linggabuana dari kerajaan Sunda. Kami ingin menyampaikan pesan dari
Patih Gajah Mada. Paduka bisa membubuhkan tanda di kertas yang saya bawa. Bahwa
yang mulia setuju jika pernikahan ini dilanjutkan, maka wilayah Sunda secara
otomatis akan berada di bawah kekuasaan Majapahit. Jika tidak, maka kalian
semua akan berakhir disini, saat ini juga.”
“Majapahit biadabbb!!! Beraninya menusuk dari belakang!!! Bangsattt!!!
Tidak!!! Tidak akan pernah Sunda tunduk pada Majapahit. Sampai nyawa berpisah
dari raga pun aku tak akan sudi!!! Kau utusan laknat!!!”
“Crasssss...!!!” Darah langsung memuncrat. Sang utusan pun meregang nyawa
tertusuk pedang emas sang raja.
“Patih Sora lekas tabuh genderang! Kita resmi berperang sampai titik darah
penghabisan!”
“Dung derung derung derung...” suara genderang mengudara ditengah awan
hitam. Getarannya nyaring memekakkan telinga.
Jarak antara prajurit majapahit dengan pesanggrahan Bubat tinggal
sejengkal. Mereka hanya terpisahkan oleh sebuah tanah lapang.
“Seraaaaanggggg!!!” Lengking suara Patih Gajah Mada terdengar memenuhi
langit Bubat.
Peperangan dahsyat pun tak bisa dihindarkan lagi. Pasukan berkuda segera
menghentak bumi, membawa prajurit berpedang tajam menggasak sana sini. Di
belakangnya pasukan belati siap menerjang. Di barisan akhir, pasukan pemanah
telah meluncurkan batang-batang bambu bermata racun menuju pesanggrahan.
Suasana ricuh. Suara pedang berdenting-denting beradu. Teriakan. Umpatan. Darah
menciprat. Leher-leher terpenggal. Badan penuh sayat. Jiwa-jiwa sekarat. Aroma
kematian mengungkung padang Bubat.
Peperangan yang sungguh tidak imbang. Prajurit Majapahit tak sedikit. Bukan
puluhan. Bukan pula ratusan. Melainkan ribuan. Sedangkan pihak Kerajaan Sunda?
Alih-alih pasukan perang. Sebagian besar dari rombongan adalah iring-iringan
pengantin dengan banyak dayang.
“Ayahandaaaaa....Ibundaaaaa....” tangis Dyah Pitaloka menyayat. Jiwanya terluka
sangat. Seluruh anggota keluarganya tewas dihadapannya seketika. Riang tawa
secepat kilat berubah nestapa. Rasa cinta pada belahan jiwa berganti lara.
“Tuan putri, mari ikut kami. Yang Mulia Raja Sang Hyang Wisesa telah
menanti anda.” salah seorang punggawa datang mendekat.
“Aku tak sudi! Pergi! Tinggalkan aku sendiri!” pilu penuh ratap duka
tergambar diwajahnya.
“Lebih baik aku mati daripada mengkhianati bangsaku sendiri! Katakan pada
rajamu! Pengantinnya tutup riwayat! Berangkat menuju akhirat!”
Tanpa berpikir panjang lagi, sang putri segera mengakhiri nafasnya sendiri.
Sebilah pisau yang tergeletak tak jauh dari dia bersimpuh diraihnya. Segera ia
tancap erat di dada. Dyah Pitaloka tewas seketika.