Rabu, 30 Maret 2022

TEMPIAR KASIH - BAG 3

 EPISODE : DUKA CITA SANG RAJA



Sri Baginda Maharaja Sri Rajasanagara ( ala penulis )




PoV Hayam Wuruk

 

            Hujan telah usai. Menyisa rintik gerimis yang menitik perlahan. Bumi masih basah. Banjir darah mulai surut. Tinggal gelimpangan mayat di lapangan Bubat.

            “Dinda Dyah Pitaloka, mengapa seperti ini takdir kita?” ratap pilu baginda.

            “Dinda, bagaimana aku bisa hidup tanpamu? Kau adalah nafasku. Betapa kejamnya semesta menghukum kita. Begitu sulitkah mencinta?”

            “Yang mulia, mari kita pulang.” pelan sekali seorang punggawa berkata. “Biarlah semunya dirurus prajurit.”

            Aku membiarkan diriku dibawa entah kemana. Aku menutup mata. Tak ingin lagi kulihat dunia. Beberapa saat kemudian, aku tak ingat apa-apa.

            Saat terbangun, aku sudah berada di ranjang kebesaranku. Harum dupa dan wangi bunga semerbak memenuhi sekeliling bilik kamarku. Langsung melintas di kepalaku kejadian sore tadi. Aku           kembali menggugu.

            “Dindaaaaaaaaaaa....!!!” kembali kuteriak.

            Seorang prajurit mengetuk pintu dan segera masuk. Mungkin mendengar gelegar suaraku.

            “Paduka, Jenazah Prabu Linggabuana, permasuri, dan tuan putri Dyah Pitaloka telah siap di balairung istana. Menunggu titah yang mulia selanjutnya.”

            “Baiklah. Kumpulkan semua pejabat kerajaan. Hadirkan pula tamu undangan. Kita bersama-sama akan memberikan penghormatan terakhir untuk mereka,” kupaksakan tegar perintahku.

            Dengan bantuan pengawal pribadi, aku berganti pakaian. Jubah hitam penanda duka segera melekat di tubuhku. Bersama beberapa punggawa aku menuju balairung istana.

            Di panggung balairung yang rencananya menjadi pelaminanku, Raja Sunda, permaisuri, dan kekasihku telah dibaringkan diatas tandu. Pakaian kebesaran kerajaan dan asesorisnya telah pula diganti kain putih panjang, khas baju orang yang telah meninggal. Mereka siap diperapikan. Kereta kencana sudah dipersiapkan.

            Setelah beberapa ritual penghormatan dilaksanakan, tandu jenazah diangkat, dimasukkan dalam kereta kencana. Di belakangnya, sebuah kereta kerajaan juga sudah siap. Aku masuk kedalamnya. Aku akan mengantar mereka hingga pintu nirwana.            Iringan kereta kencana segera berangkat menuju Candi Brahu, sebuah pura suci bagi kami, penganut agama hindu. Bangunan khusus untuk keluarga kerajaan saat mereka dikremasi.

            Sesampainya di Candi Brahu, tiga tumpukan meja kayu telah menyambut kedatangan kami. Tanpa kuberi aba-aba, punggawa sudah melaksanakan tugasnya. Tandu jenazah dikeluarkan dari kereta kencana, dipanggul menuju perapian.

             

 

 

 


TEMPIAR KASIH - BAG 2

 Episode : Sang Raja Patah Hati

                                                Bidadari Sunda Putri Dyah Ayu Pitaloka (ala penulis)


PoV Hayam Wuruk

 

Dari arah barat, kulihat seorang prajurit berlari, tergopoh-gopoh seolah ada hal penting yang akan disampaikan. Saat tiba dihadapanku, nafasnya tinggal satu-satu. Raut mukanya pucat pasi ketakutan. Bajunya basah kuyup oleh keringat. Peluhnya tak henti mengucur.

“Paduka, gawat!!! Prajurit wilayah barat dipimpin Patih Gajah Mada menyerbu Pesanggrahan Bubat. Semua rombongan Pasundan tewas. Tuan Putri bunuh diri.” takut-takut prajurit itu melaporkan.

“Apa!!! Patih Mada menyerbu Bubat? Atas perintah siapa?” sang raja murka.

“S...sa...saya tidak tahu yang mulia. Ampuni hamba.” punggawa itu semakin mencericit ketakutan.

“Putri Dyah Pitaloka? Bunuh diri? Tidaaaaakkkkkk!!! Kita kesana. Prajurit, siapkan kuda.”

“Siap, paduka.”

Awan hitam mulai menggugurkan air yang dikandungnya. Tetes-tetes hujan perlahan membasahi bumi Bubat. Semakin lama semakin deras. Guntur menggelegar. Petir menyambar. Semesta seolah menangis, menyuarakan duka, mendendangkan nestapa.

Ditengah hujan badai, Sri Baginda Maharaja Hayam Wuruk memacu kudanya kencang. Sekencang-kencangnya. Ingin dia tiba di Petirahan Bubat secepatnya.

“Hiyeeeehhhhhh... hiyeeehhhh...” suara kuda bergemuruh bersahut-sahutan.

Diiringi beberapa pasukan pengawal pribadi sang raja, kuda-kuda berlari layaknya kilat. Bagai kesetanan. Sangat cepat.

Lapangan Bubat sudah di depan mata. Namun tak ada satupun manusia di sana yang masih bernyawa. Semua tumbang tak bersisa. Tumpukan mayat dimana-mana. Darah yang terguyur lebatnya hujan membuat  lapangan Bubat bak lautan merah.

Sri Rajasanegara, raja besar yang memerintah Nusantara,  turun dari kuda dan berlari mencari kekasihnya. Diantara gelimpangan mayat penuh sayat, tergeletaklah belahan jiwanya.

“Dindaaaaaa!!! Dinda Dyah Pitalokaaaa!!! Lekas buka mata. Ini aku, kang mas raja. Jangan tinggalkan akuuuuuu......” raja kerajaan besar itu bersimpuh tergugu pilu.

Beberapa saat hening melingkupi lapangan Bubat. Tak ada yang bersuara. Semua punggawa hanyut dalam lara bersama sang raja. Hanya rintik rinai lirih.

Sang raja tak kuasa berdiri. Lunglai kakinya serasa tak bersendi. Merangkul calon istri yang telah terbang ke nirwana. Meninggalkan sang raja dalam duka. Menyisa hati yang patah terluka.

“Punggawa, kerahkan pasukan bersihkan lapangan. Mayat prajurit dan dayang kuburkan dengan layak. Raja, permaisuri, dan sang putri bawa mayatnya ke istana. Kita akan berikan penghormatan terakhir yang sepadan.” titah sang raja.

Dengan berat hari, baginda raja kembali. Wajahnya sayu dirundung pilu. Hatinya luka tertancap sembilu.

“Patih Madaaaa! Aku akan buat perhitungan denganmu!”








Selasa, 29 Maret 2022

TEMPIAR KASIH - BAG 1

Episode : Pesanggrahan Bubat


Pesanggrahan Bubat, Lambang Cinta Suci Sang Maharaja



Awan hitam berarak memenuhi langit Majapahit sore itu. Jingga yang semula melukis senja beranjak sendu. Semilir angin berganti topan. Hitam. Kelam. Mencekam. Burung-burung yang semula menari riang alih berlarian, berlomba mengepak sayap pulang. Anjing melolong menyayat menakutkan. Angin melumat daun-daun yang lembut bergoyang. Bebungaan luruh rontok berguguran. Semesta seolah sedang murka.

 

PoV Dyah Pitaloka Citraresmi

 

Aku sejenak memejam mata. Perlahan kurasakan pergolakan semesta. Degup jantungku berkejaran tanpa jeda. Ada apa? Naluriku berkata bencana akan datang segera.

Tanggal 13 bulan Asujimasa 1279 Saka. Hari ini hari kedua aku bersama ayahanda Raja Prabu Linggabuana Wisesa dan ibunda Ratu Dewi Lara Linsing, dengan seluruh iring-iringan Kerajaan Sunda menghirup udara Majapahit. Lelah raga setelah perjalanan jauh belum juga pulih. Empat puluh hari empat puluh malam kami naik kereta kuda, dari tanah Pasundan menuju bumi Majapahit. Sebagian prajurit pengawal berjalan kaki menapak jengkal demi jengkal bentala Jawa.

Letih badan seakan terobati manakala kami disambut meriah oleh rakyat Majapahit. Sebuah pesangggrahan di daerah Bubat telah menanti kedatangan kami. Khusus diperuntukkan bagi rombongan kerajaan untuk melepas penat perjalanan.

Petirahan ini yang ditata sangat apik. Indah. Penuh dengan fasilitas mewah kerajaan. Bangunan artistik berarsitektur joglo nan luas berdiri kokoh anggun. Tiang-tiangnya dari kayu jati. Kuat. Tak akan lapuk dimakan rayap hingga puluhan tahun terlewati. Taman bunga yang menghias sekeliling peristirahatan ini sangat mengagumkan. Sungguh. Keindahan dalam arti yang sesungguhnya. Dikara tanpa cela.

Tempat permandian keluarga kerajaan pun tak kalah bagusnya. Air jernih memancar di beberapa penjuru. Kolam rendam penuh bunga tujuh rupa siap menyapa dan selalu diganti setiap harinya.

Tak hanya tempat tetirah yang mewah. Namun juga hidangan yang disajikan teramat istimewa. Hampir semua jenis makanan dan buah-buahan tersedia. Betapa luhurnya raja Majapahit ini. Menghormati tamu layaknya pesta.

Ah, Kangmas Raja. Begitu aku menyebutnya dalam risalah cinta. Aku sudah tak sabar menanti esok hari. Kita akan bertemu di pelaminan, lambang pemersatu cinta suci.

Di kursi mempelai itu nanti, Kangmas Hayam Wuruk, kekasih hatiku, akan menungguku. Dialah Sri Rajasanagara atau Sang Hyang Wekasing Suka, seorang raja yang bijaksana. Masih belia usianya saat tampuk pemerintahan berada dalam genggamannya. Di mataku dia sosok pria idaman hati para puteri. Wajahnya bersinar tampan berwibawa. Posturnya tinggi tegap gagah memancarkan aura. Siapapun pasti jatuh cinta pada pandangan pertama.

 

PoV Hayam Wuruk

 

            Sore ini aku bersama beberapa punggawa sengaja berkeliling istana. Terutama balairung yang esok hari akan menjadi pusat acara. Tak sabar aku ingin segera mempersunting puteri Dyah Pitaloka Citraresmi, bidadari Kerajaan Sunda. Wajahnya cantik jelita. Kulitnya kuning langsat. Rambut panjangnya tergerai indah hingga pinggang. Tinggi langsing semampai. Saat dia berjalan, semua mata tak jemu memandang.  Saat dia tersenyum, lesung pipit terlihat merajai pipinya  yang bersemu kemerahan. Pakaian yang dia kenakan selalu anggun pas di badan. Apalagi saat dia bernyanyi. Suaranya merdu bak buluh perindu. Mabuk kepayang aku disergap rindu.

Dyah Pitaloka Citraresmi. Putri pertama Raja Sunda Prabu Linggabuana itu telah mencuri hatiku sejak awal jumpa. Halus tutur bahasanya. Elok perangainya. Satu kata untuk sang pujaan hati: mempesona. Hatiku semakin bergelora. Aku harus bisa bersanding dengannya.

            Persiapan telah paripurna. Pelaminan sudah dihias penuh bunga-bunga. Ornamen-ornamen khas kerajaan Majapahit dan Sunda dipajang dimana-mana. Warna merah dan emas mendominasi hampir disetiap sudutnya. Dupa khusus keraton pun mulai dibakar perlahan. Wanginya memenuhi seluruh ruangan. Harumnya bernada cinta kasih berbalut sayang.

            “Paduka Raja, semua sudah siap!” sekretaris kerajaan  melaporkan.

            “Kerja bagus, Patih Halayuda. Terima kasih sudah mendukungku sejauh ini. Kau tahu? Aku bahkan tak melihat  Patih Mada seharian. Firasatku mengatakan dia tak senang dengan pernikahanku ini.” Hayam Wuruk bersabda.

            “Beliau sedang berlatih bersama para prajurit kerajaan, Paduka.” kata Patih Halayuda.

“Oh, jadi begitu. Pantas saja tak kulihat dimanapun. Oh ya, beri tahu Mpu Prapanca, jangan lupa merekam peristiwa penting dalam sejarah Majapahit. Bersatunya dua hati, bersatunya dua kerajaan.”

“Baik, Yang Mulia.”

Aku menghela nafas lega. Semua yang kurencanakan esok bakal terlaksana. Sekelebat aku teringat bidadari pujaan hati. Sedang apa dia disana? Semoga dia suka pesanggrahan itu. Aku memang membangun rumah peristirahatan itu khusus untuknya, sebagai bukti bahwa aku sangat mencintanya.

 

PoV Dyah Pitaloka

 

            Kulihat awan hitan bergelayutan sejak tadi. Semilir angin berganti topan. Menderu. Mengganas. Mengiris hati.

Tiba-tiba dari kejauhan kulihat rombongan prajurit berlari. Ada apa? Mengapa mereka menghunus senjata?

“Ayahandaaaa!!! Cepatlah kemari!!! Lihatlah jauh disana. Prajurit Majapahit menuju kemari. Tapi mengapa mereka seperti mau berperang?” cericitku ketakutan.

Maharaja Linggabuana segera bangkit menuju tempatku berdiri. Dilihatnya ribuan tentara bersenjata menuju pesanggrahan yang sedang dihuninya.

“Kurang ajar Majapahit ini!!! Mereka menipu kita! Patih Sora. Cepat siapkan pasukan! Kita berperang.” titah sang raja.

“Paduka, utusan dari Majapahit datang. Ingin bertemu Yang Mulia.”

“Persilakan masuk!” titah sang prabu.

“Raja Linggabuana dari kerajaan Sunda. Kami ingin menyampaikan pesan dari Patih Gajah Mada. Paduka bisa membubuhkan tanda di kertas yang saya bawa. Bahwa yang mulia setuju jika pernikahan ini dilanjutkan, maka wilayah Sunda secara otomatis akan berada di bawah kekuasaan Majapahit. Jika tidak, maka kalian semua akan berakhir disini, saat ini juga.”

“Majapahit biadabbb!!! Beraninya menusuk dari belakang!!! Bangsattt!!! Tidak!!! Tidak akan pernah Sunda tunduk pada Majapahit. Sampai nyawa berpisah dari raga pun aku tak akan sudi!!! Kau utusan laknat!!!”

“Crasssss...!!!” Darah langsung memuncrat. Sang utusan pun meregang nyawa tertusuk pedang emas sang raja.

“Patih Sora lekas tabuh genderang! Kita resmi berperang sampai titik darah penghabisan!”

“Dung derung derung derung...” suara genderang mengudara ditengah awan hitam. Getarannya nyaring memekakkan telinga.

Jarak antara prajurit majapahit dengan pesanggrahan Bubat tinggal sejengkal. Mereka hanya terpisahkan oleh sebuah tanah lapang.

“Seraaaaanggggg!!!” Lengking suara Patih Gajah Mada terdengar memenuhi langit Bubat.

Peperangan dahsyat pun tak bisa dihindarkan lagi. Pasukan berkuda segera menghentak bumi, membawa prajurit berpedang tajam menggasak sana sini. Di belakangnya pasukan belati siap menerjang. Di barisan akhir, pasukan pemanah telah meluncurkan batang-batang bambu bermata racun menuju pesanggrahan. Suasana ricuh. Suara pedang berdenting-denting beradu. Teriakan. Umpatan. Darah menciprat. Leher-leher terpenggal. Badan penuh sayat. Jiwa-jiwa sekarat. Aroma kematian mengungkung padang Bubat.

Peperangan yang sungguh tidak imbang. Prajurit Majapahit tak sedikit. Bukan puluhan. Bukan pula ratusan. Melainkan ribuan. Sedangkan pihak Kerajaan Sunda? Alih-alih pasukan perang. Sebagian besar dari rombongan adalah iring-iringan pengantin dengan banyak dayang. 

“Ayahandaaaaa....Ibundaaaaa....” tangis Dyah Pitaloka menyayat. Jiwanya terluka sangat. Seluruh anggota keluarganya tewas dihadapannya seketika. Riang tawa secepat kilat berubah nestapa. Rasa cinta pada belahan jiwa berganti lara.

“Tuan putri, mari ikut kami. Yang Mulia Raja Sang Hyang Wisesa telah menanti anda.” salah seorang punggawa datang mendekat.

“Aku tak sudi! Pergi! Tinggalkan aku sendiri!” pilu penuh ratap duka tergambar diwajahnya.

 

“Lebih baik aku mati daripada mengkhianati bangsaku sendiri! Katakan pada rajamu! Pengantinnya tutup riwayat! Berangkat menuju akhirat!”

Tanpa berpikir panjang lagi, sang putri segera mengakhiri nafasnya sendiri. Sebilah pisau yang tergeletak tak jauh dari dia bersimpuh diraihnya. Segera ia tancap erat di dada. Dyah Pitaloka tewas seketika.

 

 

 

 

 

 

Senin, 28 Maret 2022

Tempiar Kasih Anichka

Part one


Syuttttt!!! Bummmmm!!! Tretetetet!!! Duarrrr!!!

"Anichkaaaa!!! Lariiiii!!! Cepatttt!!!"

"Maaa!!! Mamaaa!!"

Malam yang sunyi tiba-tiba gempar. Gaduh teriakan anak-anak disambung sahutan ibunya memekik menutupi langit Kiev. 

Mereka anak beranak seolah tak ingin berpisah. Tidur berdekapan erat. Saling melindungi. Meski mereka tahu, peluru tak akan pandang bulu. Tua. Wanita. Balita. Sekali peluru bermuntahan, bisa dipastikan sekejap saja mereka binasa. 

Anichka masih membuka setengah mata saat sang ibu berteriak memanggil namanya, menyuruhnya lari, entah kemana. 

"Mamaaaa!!! Mamaaaa!!!"

Suara tangis puluhan balita memecah gulita. Rentetetan tembakan pasukan merah seakan memberi pengumuman bahwa saat itu diantara mereka ada yang resmi menjadi piatu. 

Minggu, 27 Maret 2022

Waiting List









Waiting List 
Daftar Tunggu


Semua yang bernyawa masuk dalam daftar ini. Tanpa kita sadari, waktu terus berlalu tak pernah berhenti. Hingga tiba saatnya nanti kita dipanggil ilahi.

Ya. Kematian. Sesuatu yang tak mungkin dihindari. Sudahkah kita bersiap untuk bekal di kemudian hari? Ibadah kita. Salat, mengaji, puasa, dan yang lainnya. Juga amal kebaikan dengan sesama. Baikkah kita dengan tetangga? 

Siapkah kita meninggalkan dunia? Pasangan hidup. Anak. Saudara. Teman. Sahabat. Harta. Rumah. Mobil. Kekayaan. Jabatan. Pangkat. Koleksi tas, sepatu. Almari penuh baju. Perhiasan. Sawah. Aset berharga. Semuanya akan kita tinggalkan. 

Ya Allah
Semoga ketika tiba masanya, kami siap menghadapi segalanya. Mohon ampuni dosa-dosa. Akhirkan nafas kami dalam keadaan Khusnul khatimah. 
Aamiinn





Senandung Al-Fatihah

"Al-Fatihah adalah jembatan rindu, yang menghubungkan kita dengan mereka yang telah pergi terlebih dahulu." Asma Nadia




Rindu tapi tak bisa bertemu. Sebuah rasa yang sungguh menyesakkan dada, bukan? Pembaca budiman, pernahkah terlintas rasa itu?

Rindu yang demikian hanya dirasakan oleh mereka yang mencinta. Dan rindu pada hadirnya bapak ibu adalah rindu diatas segalanya. Rindu yang selalu menerbitkan air mata. 

Mengenang bapak dan ibu. Rasanya perlu ada hari khusus untuk itu. Meskipun di setiap harinya telah kita tumpah ruahi doa-doa, namun ada hari yang berbeda. Hari dimana berkumpul semua anak dan cucu. Hari dimana sedekah dilipatgandakan. Hari dimana senandung rindu dilantunkan.

Bapak, ibu. Tak kan pernah bisa kami seperti ini tanpamu. Terima kasih atas semua renda doa disetiap sepertiga malam. Terimakasih telah menghujani kami dengan deras kasih sayang. Terimakasih sudah menemani kami bertumbuh dalam kebaikan. 

Ya Ilahi Robbi. Tolong sampaikan salam rindu kami. Mohon bahagiakan bapak ibu. Lapangkan kuburnya. Ampunilah dosanya. Terangilah jalannya. Sayangilah seperti mereka menyayangi kami diwaktu kecil. 
Aamiinn









Jumat, 25 Maret 2022

Disini Ada Pesta

Pesta. Apapun namanya, selalu membawa ceria. Dan disinilah cerita itu bermula.

Pesta kali ini sebut saja pesta fruity salad. Alias rujak buah manis. Buah ala kadarnya saja. Yang gampang dibeli dan melimpah stoknya. Tempat tak harus luas pula. Yang penting nyaman buat ngemil bersama.

Buah selesai dikupas. Dipotong tuntas. Party segera dimulai. Ngerumpi sana rumpi sini. Duh asyik sekali. 

Bukan karena buahnya yang manis. Bukan karena kerupuknya. Bukan juga bumbunya. Namun esensi dari sebuah party bagi saya adalah sebuah kebersamaan. Makan bersama yang kata nabi penuh keberkahan. 

Makan bersama. Mungkin tak banyak dari kita melakukannya. Seperti saya. Di rumah, saya selalu makan sendiri. Barangkali karena jadwal makan yang berbeda jadi semuanya jarang makan bersama. Kecuali hari libur, ini momen yang langka.

Momen makan bersama keluarga. Dulu merupakan ritual yang selalu saya lakukan. Dulu. Saat ibu dan bapak masih ada. Sambil bercerita nasi tandas tak terasa. Makan bersama, biarpun sedikit, namun kenyangnya lama. Hati bahagia.

Sudahkah hari ini anda makan bersama keluarga? 





Kamis, 24 Maret 2022

Putih Abu-abu

Masa putih abu-abuku memang sudah lewat dua puluh empat tahun yang lalu. Namun entah kenapa jiwaku terasa masih ada di titik itu. Adakah yang tahu kena penyakit apa aku?

Jamanku SMA dulu bisa dibilang berakhir dengan tidak indah. Tak ada wisuda layaknya seremonial perpisahan ala siswa jaman sekarang, yang hebohnya tak karuan. Tidak pula berdandan cantik bak foto model kenamaan dan berlenggak lenggok di panggung. Apalagi mengenal nama toga, sebuah jubah kebesaran wisudawan. Juga tak ada konvoi kendaraan ataupun corat coret baju. Garingnya kebangetan. 

Tahun 1998. Ya benar. Aku lulus di era reformasi yang melanda negeri ini. Saat itu krisis moneter sedang mengguncang dunia. Presiden Soeharto, yang telah berkuasa selama 32 tahun, memutuskan mundur dari jabatannya. Demonstrasi mahasiswa tak henti-hentinya menghiasi media. 

Inflasi besar-besaran terjadi. Kerupuk yang tadinya 10 rupiah menjadi 100. Uang 1000 rupiah jadi tak ada nilainya lagi. Semua harga berlipat melambung tinggi. 

Kembali ke cerita SMA ku tadi. Dengan nilai rupiah yang tidak jelas ini, sekolah memutuskan tak ada ritual perpisahan. Dan akhirnya, aku dan teman-teman memperpisahi diri kami sendiri. Hihihi... Lucu kedengarannya saat dikenang seperti ini. 

Kelas XII jelas merupakan penentu mau kemana kita setelahnya. Ada banyak pilihan yang bisa ditempuh saat pintu perkuliahan kita buka. Namun tentu saja untuk memasukinya dibutuhkan perjuangan bersimbah peluh dan tak jarang air mata. 

Takdir mengantarkan aku ke sebuah kota di ujung pulau Jawa. Sendiri di kota asing, tak ada sanak saudara. Apalagi pertama kali jauh dari orang tua. Fiyuhhhhh benar-benar menguras rasa. 

Rabu, 23 Maret 2022

Paper Test is the Best

Menjadi pengawas ujian, bagi saya sesuatu hal yang sangat membosankan. Apalagi jika ujiannya berbasis komputer. 

Barangkali saya ini termasuk kategori guru jadul. Karena saya lebih menyukai ujian konvensional. Ya, pake kertas seperti jaman dulu, dengan tipe soal isian.

Tipe soal essay pendek ataupun panjang akan membuat siswa belajar maksimal dalam ujian. Jika dia tidak belajar, maka pasti akan mengalami kesulitan saat menjawab soal.

Sebaliknya, soal pilihan ganda sering membuat siswa meremehkan materi ujian. "Halah, nanti kan bisa main feeling." Terkadang begitu alasannya jika ditanya. Ujian kok pake perasaan? 

Ujian konvensional bagi saya juga punya nilai lebih dalam hal kejujuran. Bagaimana bisa curang, jika di atas meja hanya ada kertas dan pulpen? Yah, meskipun tak bisa dipungkiri, pasti akan ada saja cara cheating. 

Namun demikian, lebih dari itu semua, paper based test, selalu menjadikan kemampuan intelektual masing-masing orang melejit sempurna. Bagaimana tidak? Otak dibiasakan belajar, berfikir, terasah secara kontinyu. Dengan cara ini, generasi muda tak akan mengalami degradasi intelektual. 

#coretanpagi


Selasa, 22 Maret 2022

SYUHADA NANGGALA

 

SYUHADA NANGGALA

Evin Asmira

 

“Minggu depan Ayah pulang. Kita jalan-jalan ya, Sayang. Jaga Mama dan adikmu.” Ayah menutup percakapan teleponnya sesaat sebelum berangkat melaksanakan tugas negara.

“Sasya sayang Ayah. Bye bye. Assalamualaikum.” aku mematikan tombol di telepon seluler sambil membayangkan minggu depan saat Ayah datang.

Ya. Kami sekeluarga selalu memanfaatkan waktu kepulangan Ayah dengan jalan-jalan sekeluarga. terakhir kami bepergian menyewa sebuah homestay di Jogjakarta selama tiga hari tiga malam. Hampir semua destinasi wisata di kota itu tak luput dikunjungi. Puas sekali rasanya.

“Ma, minggu depan ayah datang. Enaknya kita kemana?” kutanya Mama yang tengah menggoreng tempe selimut kesukaanku.

“Kamu mau kemana, Kak? Jangan jauh-jauh donk, Mama capek kalo kebanyakan duduk dalam mobil.”

“Ah Mama. Yang dekat-dekat sini kan ga seru wisatanya. Lagian nanti kita bisa berhenti di rest area. Bisa salat, sambil cari makan. Jadi ga jenuh di mobil terus.”

“Ya sudahlah, Kak. Asal wisatanya ga ekstrim ya.”

“Ok Ma. Siap. Aku browsing dulu ya. Nanti kalau Ayah datang, kita sudah siap berangkat.”

Aku tak sabar menunggu hari agar cepat berganti. Berselancar di dunia maya mencari destinasi wisata dan home stay kulakukan setelah menyelesaikan tugas sekolah. Kami sekeluarga lebih menyukai tinggal di homestay saat menginap daripada hotel. Selain harga sewanya jauh lebih murah, homestay menawarkan fasilitas dapur seperti layaknya rumah tangga pada umumnya. Jadi bisa menghemat pengeluaran. Mama biasanya membawa perbekalan bahan mentah untuk dimasak selama berada di kota tujuan. 

Ayahku sosok TNI yang sangat dekat dengan anak-anaknya. Saat Ayah datang, kami biasanya ngobrol tentang banyak hal. Mulai dari kenakalan adik, berantem sama teman, dimarahi Mama, sampai urusan cowok. Semua hal yang terjadi ketika Ayah pergi bertugas, diceritakan berebutan waktu kami berada di meja makan. Sampai-sampai Mama ga kebagian waktu bercerita. Sedangkan Ayah kebanyakan menjadi pendengar yang baik. Hanya sesekali menimpali, sambil memberikan nasehat.

“Ayah, kenapa berdiri di luar? Kenapa tidak masuk ke dalam rumah? Ayok Yah, dibuka aja pintunya. Mama di dapur mungkin lagi masak.”

Aku segera membukakan pintu dan memanggil mama. Hari ini kebetulan aku menngikuti pembelajaran tatap muka di sekolah. Jam setengah sepuluh pagi pembelajaran telah usai dan aku langsung pulang.

 “Mamaaaa Ayah datang!” setengah berteriak aku langsung masuk dan menemukan mama di ruang keluarga menitikkan air mata. Tante Ratna, adik mama mendampinginya.

“Mama kenapa? Kok nangis, Tante? Mama ga denger bel ya? Itu Ayah nungguin dari tadi. Di Teras sendirian. Tumben Ayah kok ga langsung masuk. Mungkiin dikirain pintunya dikunci ya Ma?”

Mama berdiri dan segera memelukku. Sambil sesenggukan. Aku heran. Tidak pernah mama menangis sampai seperti ini.

“Sasyaaaa, anak Mama. Kamu yang sabar ya, Nak. Kita harus tabah. Kita berusaha ikhlas ya..”

“Memangnya ada apa, Ma? Ayok segera siap-siap kita mau wisata. Aku sudah merancang kita kali ini ke Solo dan sekitarnya aja. Lewat tol hanya empat jam sudah nyampai. Ayok Ma buruan beresin baju. Ayah sudah menunggu.”

Mama malah memelukku kian erat, isak tangisnya semakin kencang. Tante hanya melihat kami sambil tak henti mengusap matanya yang basah.

“Sasyaaa... dengarkan Mama dulu sayang. Mama barusan dapat telepon dari kantor Ayah. Sudah dua hari ini kapal selam yang Ayah tumpangi hilang di perairan laut Bali. Besar kemungkinan semua kru kapal meninggal dunia.”

Darrrrr !!!

Petir menggelegar seketika.

“Apa Ma? Ga mungkin. Itu Ayah datang. Tadi aku lihat Ayah di teras. Sebentar Ma. Aku lihat Ayah dulu.”

Aku berlari secepat mungkin meninggalkan Mama menuju teras. Celingukan aku mencari Ayah. Tak nampak siapapun disana. Kupanggil kucari ke sekeliling rumah.

“Ayah... Ayah... dimana? Ayah... Ayah?” Aku berkeliling rumah. Membuka semua pintu kamar dari depan hingga belakang. Kuteriakkan nama Ayah. Namun sepi. Hanya isak mama dan tante yang terdengar. Aku semakin panik tatkala para tetangga satu persatu mulai berdatangan. Keluarga mama dan Ayah juga menelepon menanyakan kebenaran kabar yang mereka terima. Bahwa Ayah telah pergi untuk selama-lamanya. Aku pusing. Kepalaku terasa berat. Rasanya aku tak bisa menerima kenyataan. Kunyalakan televisi berharap mendapatkan kabar terang tentang berita ini. Namun wacana tentang KRI Nanggala 402, nama kapal selam yang ditumpangi Ayah beserta kru nya, hadir hampir di semua pemberitaan media. Dan semuanya sama. Bersama Nanggala, ayahku menjadi syuhada.

Satu tanya masih menggelayuti pikiranku hingga kini. Jika memang Ayahku telah pergi menghadap keharibaan Ilahi, lalu siapa yang datang siang tadi?