Maria Karimov
"Lekas Maria! Cepat lepas kerudungmu!" Setengah berteriak Mama mengingatkanku.
"Iya, Ma. Baik. Aku tidak lupa. Sebentar aku pakai sepatu dulu." balasku sambil berusaha tetap tenang.
Hari ini Mama mengajakku ke pasar. Kebutuhan dapur telah menipis. Stok bahan pangan kian hari kian sulit. Pemerintah membatasi jatah bantuan karena cuaca buruk. Salju longsor menutup beberapa ruas jalan Ibnu Sina. Bahan makanan tak bisa terkirim tepat waktu.
Musim dingin tahun ini begitu menggigit. Gemeretuk gigiku beradu menahan angin. Baju tebal sudah berlapis-lapis, namun tak juga mampu mengusir beku.
Mama dan aku berangkat ke pasar yang tak jauh dari rumah. Erat Mama memegang lenganku seakan tak mau aku jauh. Disana sini tentara merah mengawasi. Mata elangnya sangat jeli memeriksa satu persatu manusia yang lalu lalang. Siapapun yang melanggar aturan langsung dibawa, diseret tanpa ampun.
Mungkin benar apa yang dikhawatirkan Mama. Kemarin, salah satu tetanggaku pulang tinggal nama, hilang entah kemana. Ayahnya hanya mengingat saat terakhir anaknya memakai tutup kepala putih, khas orang berhaji. Ameer, pastilah ditangkap tentara berbaju doreng dan berbaret merah itu. Mungkin dia lupa melepas atribut keislamannya saat keluar rumah.
Hidup di negeri ini, dengan berpegang teguh pada keyakinan Islam, sangat riskan. Sejak tentara Rusia datang, semua aturan diubah. Tak hanya hukum negara, bahkan hukum agama pun dibuatnya habis tak bersisa. Perlahan, kami dijauhkan dari agama. Bahkan identitas keislaman seperti hijab dan simbol lainnya. Menggunakan atribut keagamaan adalah hal terlarang.
Keluargaku menganut agama Islam sejak jaman nenek moyang. Sendi-sendi dasar keislaman telah berakar kuat dalam masyarakat di setiap lini kehidupan. Bahkan di kota kelahiranku, Samarkhand, terkenal sebagai pusat kebudayaan Islam. Namun kini, semua tinggal cerita masa lalu yang makin lama tak dipedulikan lagi. I
"Maria cepat jalanmu, jangan melamun!" Mama berbisik keras di sampingku.
Sampailah kami di perempatan pasar. Belanjaan kami sudah menumpuk di kerangjang. Mama dan aku siap pulang.
"Berhenti!"
Deg. Jantungku serasa copot mendengar teriakan itu. Seketika kami menghentikan langkah. Aku sangat ketakutan. Mama semakin erat mencengkeram lenganku.
"Baju coklat, berhenti! Dua perempuan baju coklat dan abu-abu, berhenti!"
Seketika mataku melihat warna baju mama dan bajuku. Mama memakai sweater coklat. Aku memakai hoodie abu-abu. Jadi, yang dipanggil itu kami. Ya Tuhan lindungilah kami.
"Wanita baju coklat, keluarkan tanganmu dari dalam saku! Baju abu minggir!"
"Tuan, mau kau apakan Mamaku?"
cericitku ketakutan.
Mama memandang tajam tentara berbaret merah itu, sambil mengeluarkan tangannya dari saku baju. Pandangan matanya mengisyaratkan kebencian. Aku belum pernah melihat Mama dalam kondisi seperti ini.
Aku penasaran apa yang akan dilakukan tentara itu. Namun kulihat Mama mengeluarkan tangan yang salah satu jemarinya dilingkari alat penghitung dzikir. Ya Tuhan...
"Mamaaa.... Mamaaa.." aku menangis segera membayangkan apa yang akan terjadi.
Brakkkk!!! Keranjang belanjaan yang dibawa Mama dilempar. Dan Mama langsung digelandang pergi. Tak hanya satu, tentara itu segera memberitahu yang lain untuk segera membawa Mama pergi.
"Maria, jangan takut. Kita di jalan yang benar. Allah yang akan menolong Mama. Pulanglah. Doakan Mama. Lekas pulang!"
"Mamaaaaaa....."
Bagaimana aku bisa pulang, jika di rumah tidak ada dirimu? Bagaimana nanti aku akan melewatkan hari-hari ku tanpa kehadiranmu? Mama adalah separuh nyawaku.