Sabtu, 30 April 2022

AKU MAU PULANG - fiksa (fiksi nyata)

 

AKU MAU PULANG

 


 

20 Januari 2017

 

 Hari ini ada pengumuman penting. Sekolahku mengadakan study tour ke Jogjakarta. Hampir seluruh teman-temanku bersorak gembira. Dan sepertinya hanya aku yang tak menyambut kabar ini dengan suka cita.   Tapi apa mau dikata. Akhirnya aku pun terpaksa ikut juga. Tak mungkin aku berkata bahwa aku punya firasat tak enak terkait makhluk tak kasat mata.

 

 

23 Februari 2017

 

            Akhirnya saat yang ditunggu tiba. Rombongan kami tiba di tujuan pertama, kampus UGM. Semua masih berjalan biasa saja. Lancar sesuai rencana. Hanya saja, saat aku ke kamar mandi ada keanehan yang terjadi. Kamar mandi yang bisa dipakai hanya ada satu saja di aula besar itu. Yang satunya tak bisa dipakai karena rusak. Demikian ada tulisan di depan pintu kamar mandi tersebut, dan ada tanda silang merahnya. Praktis, semua antri. Saat giliranku tiba di paling akhir, aku mendengar suara keran air dari kamar mandi sebelah yang katanya rusak itu. Dan ada suara-suara yang menandakan aktivitas kamar mandi yang menghuninya. Keanehan yang hanya kusimpan dalam hati saja.

            Setelah UGM, kampus berikutnya yang dikunjungi adalah ISI, Institut Seni Indonesia. Saat bus memasuki area kampus, kulihat banyak sekali pohon-pohon besar mengililingi gedung-gedungnya. Kami diterima di salah satu aula utama. Aku melangkah menuju aula bersama teman-teman. Namun entah kenapa saat melewati salah satu pohon beringin besar yang tumbuh di depan aula, tiba-tiba tenagaku hilang begitu saja. Aku sadar betul. Aku digotong teman-teman menuju ke sebuah ruangan. Disana sudah terbaring beberapa teman yang katanya juga pingsan. Kudengar aku tiba-tiba tak sadarkan diri. Tapi aku sadar pikiranku masih utuh. Hanya saja tak ada tenaga.

            Setelah mendapat perawatan dari seksi kesehatan dan beberapa guru, aku bisa bangun dan membuka mata. Aku dipersilakan kembali ke dalam aula untuk mendengarkan pemaparan tim ISIb tentang perkuliahan disana. Ditengah acara, tiba-tiba aku mendengar seseorang memanggil-manggil namaku. Aku menoleh kesana kemari. Ternyata diluar sana, ada teman yang melambaikan tangan dan memanggilku untuk segera keluar. Dan aku pun segera ijin meninggalkan ruangan, menuju ke arah temanku tadi.

            Aku melangkah melewati beberapa penjual makanan ringan, sebelum sampai di gedung sebelah. Aku celingak celinguk sendirian mencari teman yang tadi. Tak kutemukan seorangpun manusia disana. Aku kembali lemas tak berdaya. Untunglah didalam aula ada yang mengetahui gerak-gerikku, karena dinding aula terdiri dari banyak kaca. Mengetahui aku pingsan di luar, beberapa teman dan guru menghampiriku, membopongku kembali ke ruang kesehatan tadi.

            Saat aku siuman, mereka bertanya, “Kamu ngapain aja di gedung sebelah. Itu kan gedung kosong. Kata petugas, gedung itu dihentikan pengerjaannya sementara karena ada tukang yang meninggal di sana karena kecelakaan kerja.” Kuceritakan lambaian dan suara-suara yang memanggil namaku. Guruku kemudian merapalkan bacaan-bacaan untukku, dan meminta teman yang bersamaku untuk selalu mengajakku bicara. Jangan sampai aku diam sendiri.

            Terakhir, kunjungan kami adalah Pantai Parangtritis. Bagus. Lengkaplah sudah apa yang akan terjadi nanti.

Jumat, 29 April 2022

NILAI BUKAN SEKADAR ANGKA - fiksa (fiksi nyata)

 


NILAI BUKAN SEKADAR ANGKA

 

            Senja di langit mulai menjingga. Tak lama lagi mentari sirna. Sudah beberapa bulan aku tak lagi bisa menikmati waktu favoritku ini. Sepenggal waktu yang ingin kunikmati sendiri, melepas penat setelah seharian melayani daring di setiap kelas. Sesungguhnya ternyata pembelajaran jarak jauh sangat menyita waktu.

Belum lima menit me time, tiba-tiba ponselku berbunyi tanda ada pesan masuk.

“Mam, mohon maaf saya mau minta perpanjangan waktu untuk menyelesaikan semua tugas saya. Saya janji akan menyelesaikannya dalam waktu satu minggu.” pesan wa dari siswa.

Hamidah. Siswi satu ini tercatat kurang 5 tugas di mata pelajaranku, Sastra Inggris. Sepuluh tugas dan UH Bahasa Indonesia. Tiga belas tugas Bahasa Jawa. Empat tugas Matematika. Tujuh tugas prakarya. Dalam waktu satu minggu menjelang pembagian rapor, apakah dia bisa menyelesaikan semuanya? Selama daring di rumah, ngapain saja? Rasanya emosi sudah sampai ke ubun-ubun kalo ada kasus seperti ini.

“Iya mbak Mida, segera ya. Mam tunggu. Seminggu lagi berarti tanggal 13 Juni. Mam harap tidak molor lagi.”

Aku berusaha sabar, masih menggunakan bahasa yang halus saat menjawab pesan dari Hamidah. Aku berusaha membangkitkan Hamidah dari keterpurukan mental. Ibunya meninggal sehari setelah dia kembali dari study tour ke Jogja. Apalagi dia tipe anak mama. Manja, minta diperhatikan, dan masih perlu banyak bimbingan. Aku tahu dia sangat terpukul. Dan tragisnya lagi, tiga bulan setelah ibunya meninggal, ayahnya menikah lagi.

“Hamida, tolong besok bisa datang ke sekolah. Sebentar saja. Ada yang perlu kita bicarakan.” kuputuskan mengirim wa singkat. Masalah ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan menunggu.

Aku tahu dengan tanggungan tugas yang bejibun seperti itu, tak mungkin dia dapat  menyelesaikannya. Pun juga dengan menghubungi orang tuanya, ayah dan ibunya yang baru. Jika aku berada di posisinya, mungkin aku akan mengalami hal yang sama. Malah bisa jadi akan lebih parah lagi.

“Mbak Hamidah. Sini duduk di dekat Mam. Gimana kabarnya. Kamu sehat? Kok kelihatan tambah kurus? Ayolah cerita sama Mam. Mungkin Mam bisa bantu.”

Kuelus pelan punggungnya. Setengah berbisik kutanya apakah ibunya yang baru galak, sampai dia jadi kurus kering begini? Airmatanya langsung meluber. Menetes tak bisa berhenti, membasahi kerudung coklatnya. Semakin kutanya hal yang bersifat pribadi, semakin deras  tumpahnya. Aku ikut menangis juga.

Setelah semuanya reda, barulah dia menjelaskan kalau memang selama ini dia masih sedih ditinggal ibunda tercintanya. Makan tak enak, tidur pun tak nyenyak. Jangankan mengerjakan tugas sekolah. Menata hati saja dia belum bisa. Ditambah lagi pernikahan ayahnya. Belum sembuh luka ditinggal ibu, kini dia harus adaptasi dengan ibu baru. Di mata seorang anak perempuan, posisi ibu itu suci, sakral, tak boleh sembarangan diganti.

Kalau sudah begini, guru mana yang tega masih menagih tugas dan ulangan harian? Benar-benar bagaikan makan buah simalakama. Pilihan yang sangat sulit. Menagih tugas tak sampai hati. Jika dibiarkan, dapat nilai dari mana lagi?

Dan pada akhirnya, semua kasus seperti ini akan berujung pada nurani. Sebuah pemahaman, bahwa tak semua nilai dihitung berdasarkan angka-angka pasti. Tak bisa dilihat secara hitam putih. Menjadi pendidik berarti harus lebih mengasah hati. Bahwa kesuksesan tidak hanya diukur dari peringkat, dan siswa siswi, mereka menuntut ilmu, berarti tengah menjalani proses pendewasaan diri.

 

Kamis, 28 April 2022

MAAFKAN AKU - cerpen

 





Dimana aku? Semuanya serba gelap. Tak kulihat sedikitpun cahaya menerangi tempatku sekarang berada. Dingin! Tiba-tiba aku merasa dingin menggigit sekujur tulangku. Dan aku tak bisa bergerak! Sama sekali! Apa yang terjadi denganku? Kakiku... Tanganku... Kenapa semuanya kaku? Tolooonggg... Suaraku mana? Kenapa mulutku tak mau membuka? Tolooonggg... Jangan-jangan... Apakah aku sudah mati? Apakah aku didalam kuburan? Aku belum siap mati Tuhan...

            “Jangan takut. Kamu tidak sendirian.” Sebuah suara mengejutkanku. Samar kulihat sesosok wanita datang mendekat. Aku tak mengenalnya sedikitpun.

            “Siapa kamu? Kita ada dimana? Dimana semua orang?” tanyaku bertubi-tubi sebelum dia benar-benar berada di dekatku.

            “Tenang. Sabar. Aku akan menjawab satu persatu pertanyaanmu. Aku adalah amal baikmu. Ah, kau pasti lupa. Ini aku, paku bengkok yang kau singkirkan di jalan waktu itu.”

            Degggg. Apa? Beararti aku sudah mati? Sejenak aku berusaha menginga-ingat kejadian yang baru saja kualami.

            Terakhir yang kuingat adalah aku mengerjakan soal ulangan semester. Hari terakhir yang sangat ditunggu-tunggu. setelah ini semuanya free. Lalu dalam perjalanan pulang aku bertemu seorang kawan lama dan pergi bersamanya. Kami boncengan naik motor menuju ke cafe di area Trawas. Kepingin ngadem, kata temanku. Maka berangkatlah kami ke Trawas. Dekat pertigaan arah Gondang tiba-tiba ada motor melaju kencang menyalip kami. Ah... iya akuk ingat! Kami terjatuh ke sebelah kanan jalan dan ada truk sedang melintas disana. Kepalaku perih. Saat aku sempat membuka mata, kulihat banyak orang menolong kami. Darah... ada dimana-mana. Aku masih mendengar suara sirene ambulan. Aku mendengar suara mama menangis disebelahku. Dan tiba-tiba aku sudah di tempat ini.

            “Hei Min ! Mengapa kau ada disini ? Sudah kubilang jaga Mama dan Xixi adikmu. Kenapa kau susul Papa ?” Tiba-tiba sosok Papa berjalan mendekat.

            Papa? Kenapa Papa ada disini? Tapi kan Papa sudah meninggal. Dan yang berdiri dihadapanku ini bukan Papa yang selama ini kukenal. Dia terlihat muda, ganteng, bersih, dan berwibawa. Eh, tapi... kok kayak Papa ya? Mungkinkah benar buku yang pernah kubaca dulu? Bahwa kalau sudah di alam barzah, semuanya kembali ke usia muda. Umur saat sedang jaya-jayanya manusia. Sepintas dia seperti Papa yang kulihat fotonya di album pernikahan.

            “Kok malah bengong ! Min.. hei...Amin ! Sudah sana kamu pulang saja. Kasihan mama menangis terus sejak tadi.” nadanya seperti biasa. Serba perintah. Min ini. Min itu. Sebuah nada yang tanpa kusadari, sebenarnya kurindukan. Semenjak Papa berpulang, tak ada lagi yang memerintahku. Tak ada lagi yang memarahiku. Aku bebas kemanapun aku mau. Bebas kapanpun aku ingin. Dan tak ada yang memarahiku. Hanya Mama, yang sempat kudengar setengah berbisik dalam doa malamnya, menyebut namaku, agar menjadi anak saleh kebanggaan keluarga.

            “Pa.... tapi aku ....” kalimatku terputus. Tiba-tiba Papa sudah menghilang dari hadapanku. Dan aku... membuka mata...

            “Mama...” lirih kupanggil wanita yang telah melahirkanku itu. Dia duduk disampingku. Menangis pilu. Xixi, adikku, dia bersimpuh disebelah Mama. Juga menangisiku. Tubuhku disemuti kain jarik. Rasa ngilu segera merayap disekujur badanku. Kucoba bangun. Tapi begitu kepala kuangkat, pening dan berat sekali rasanya.

            “Mama...Mama...” sekali lagi kusebut nama itu.

            “Min ! Amin ! Kau sudah  bangun, Nak ? Alhamdulillah.. Terima kasih ya Allah...” Mama mengangkat kepalanya, mendongak menatapku. Terkejut. Barangkali aku tadi memang sudah mati.

            “Mama, maafkan aku...” sesak rasanya di dada. Aku tak bisa berkata-kata. Hanya ada air mata. Bulir yang tak lagi bisa aku menahannya. Pelan tapi pasti, butiran bening itu meluncur deras membasahi pipi. Buncah rasa sesal telah sekian lama menyakiti surgaku di dunia ini. Maafkan aku, Ma. Aku berjanji akan menjadi anak salih kebanggaanmu. Juga menjadi kakak yang baik buat Xixi. Mungkin Tuhan memberiku pelajaran kali ini. Sebuah hikmah mendalam saat aku mati suri.

             

 

ASSALAMU'ALAIKUM - pentigraf

 


1.    ASSALAMUALAIKUM



 

“Assalamu’alaikum!” sapa seorang siswi. Aku sudah capek, ingin cepat pulang. Senja sebentar lagi hilang. Helm telah kupasang. Sesore ini ngapain juga anak ini kok masih di sekolah. Apakah dia tidak segera pulang setelah bel berbunyi? Apakah dia tak tahu kalau ibunya pastilah khawatir kalau anaknya tidak segera pulang? Apalagi dia anak perempuan.

 

Di sekolah tempatku mengajar, bel pulang sekolah berdering pukul 15.15. Sore memang, karena sekolahku menerapkan sistem full day school. Memang hari Sabtu libur, tapi ya itu tadi, Senin sampai Jumat pulangnya sampai sore. Belum lagi jika anak-anak ikut kegiatan ekstra. Contohnya KIR, seperti sekarang ini, dimana aku jadi pembinanya. Akhirnya selesai jam segini, surup menjelang maghrib baru kelar.

 

“Wa’ala..........” jawaban salamku terhenti seketika. Tak kulanjut lagi. Cepat kustarter sepeda motor yang hanya tinggal sendirian di bawah pohon beringin itu. Kupacu secepat mungkin meninggalkan area sekolah. Bulu kudukku berdiri. Merinding mewarnai sekeliling saat kutoleh untuk menjawab salam, tak kujumpai seorangpun disekitarku. Juga siswi itu. Hanya pohon beringin, gemerisik daun jatuh, dan senja yang semakin beranjak pergi.

 

Selasa, 26 April 2022

TEMPIAR KASIH - Bag 30 END

 


“Sejak balita, anak-anak perempuan telah diberi pelajaran menari dan menyanyi. Seiring dengan bertambahnya usia, mereka juga wajib mempelajari bela diri. Ada juga pelajaran kesenian tradisional. Dan tepat pada usia lima belas tahun, kami diikutsertakan dalam audisi putri persembahan. Tahap selanjutnya adalah karantina di lingkungan istana untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru nantinya. Menjelang keberangkatan, entah untuk persembahan raja siapa dari negara mana, kami kembali dibekali dengan budaya dan bahasa tempat yang akan menjadi tujuan kami nanti.”

            “Benarkah begitu sayang? Kukira hanya cukup kirim sembarang wanita.” ucap baginda.

            “Tentu saja tidak, Yang Mulia. Contohnya seperti hamba. Saya sudah dipersiapkan sebegitu rupa. Jadi saat tiba di Majapahit, saya sudah bisa bahasa masyarakat setempat. Saya juga memahami budaya Majapahit. Pun menguasai Mantra Sakti Sukma. Jadi ketika kita dilepas oleh Raja Melayu, kami siap dari ujung rambut sampai ujung kaki, kami persembahkan kepada siapa tuan yang kami layani.”

            Aku memeluk Ayana erat. Semakin mencintainya. Karena dia total dalam menjalankan tugasnya. Aku  bahagia bersamannya. Dia yang kucinta, memasrahkan diri menghamba pada sosok yang tak pernah dikenalnya.

            “Ayana, dengarkan aku. Mulai sekarang, kau bukan putri persembahan. Kau adalah pendamping hidupku. Belahan jiwaku.  Aku ingin menghabiskan sisa umurku hanya bersamamu. Jangan pernah tinggalkan aku, sayang. Maukah kau menua denganku?”      

            “Tentu saja, baginda raja. Saya sangat bahagia.”

            Surga...ah surga...tak kuingat lagi tempatmu dimana. Bersama Ayana, aku tak inginkan lagi dunia.

           

             

THE END

Senin, 25 April 2022

TEMPIAR KASIH - Bag 29

 

Bagian 29

 


 

PUTRI PERSEMBAHAN

 

PoV Hayam Wuruk

 

            “Ayanaku, kemarilah. Ikutlah denganku. Mari kita berjalan-jalan sebentar di Taman Sari. Sore ini terlalu indah jika dilewatkan begitu saja,” kuajak Ayana menghabiskan senja seperti dulu.

            Taman Sari ini sengaja kubuat untuk Ayana. Dia sangat menyukai bunga. Beberapa kolam ikan dengan pancuran air turut serta mewarnai indahnya taman yang ada di belakang istana tengah. Berbagai tanaman dengan bunganya yang cantik bertebaran tertata apik.  Tempat yang istimewa. Siapapun akan merasa kerasan berlama-lama menghabiskan waktu disini.

            “Ayanaku, coba ceritakan padaku bagaimana masa kecilmu?”

            “Ah, Baginda Raja ingin tahu apa? Hamba ini hanya gadis biasa.”

            Aku tahu dia sedang merendah. Mana mungkin gadis biasa menguasai Mantra Sakti Sukma? Aku makin penasaran dengan ceritanya.

            Kami berjalan berkeliling taman sambil bergandengan tangan. Para pengawal sudah kuberi pesan bahwa area Taman Sari ini terlarang. Batas langkah kaki mereka hanyalah pintu gerbang taman. Ini adalah area pribadi Ayana denganku.  

            Sambil tersenyum dan bergelayut manja, Ayana berkata, “Hamba sejak kecil telah dipersiapkan ayah dan ibu untuk menjadi putri persembahan, Paduka. Di  negeri kami, itu adalah cita-cita tertinggi setiap anak perempuan.”

            “Menjadi putri persembahan, sangatlah banyak persiapan. Penduduk berlomba-lomba agar putrinya lolos pada audisi. Bukan cuma derajad orang tua yang nantinya akan terangkat, namun juga kebutuhan finansial tercukupi.”

             

Minggu, 24 April 2022

TEMPIAR KASIH - Bag 28


 

PoV Hayam Wuruk

 

            Lama dia terdiam. Menunduk. Dan saat dia menatapku lagi, air matanya telah menggenang. Kulihat putus asa disana. Putus asa kenapa? Karena tak bisa mencelakai Ayana? Atau putus asa sebab aku tak pernah bisa mencintainya? Sejenak aku jadi iba.

            “Dinda Sudewi, mari kita menunggu hingga anak dalam kandunganmu lahir ke dunia. Aku akan menyuruh dayang-dayang merawatmu hingga saat itu tiba. Baiklah, aku akan mencoba memaafkanmu kali ini. Tapi ingat, jangan diulangi lagi. Sekali saja kutahu kau bermasalah lagi. Aku minta kau segera angkat kaki dari istana ini.”

            Duh, kini aku yang seolah tak punya hati. Tatapannya semakin memilukan hati.

            Tiba-tiba dia bersujud, meminta ampun. Air mata nya tak surut sedikitpun. Dia sangat tulus, kali ini.

             

**

 

      Bulan ke-9 lebih 1 minggu. Hari yang di  nanti-nanti itu akhirnya tiba. Seorang bayi perempuan mungil nan cantik lahir menyapa dunia. Aku menamainya Kusumawardhani, yang berarti bunga. Aku berharap kelak saat dia tumbuh dewasa, dia akan menjadi seperti bunga. Wangi aromanya, harum budi pekertinya. Dia sang putri mahkota.

      Selang beberapa hari sesudahnya, giliran Ayana menambah kebahagiaan keluarga istana. Seorang putra mahkota, lahir dengan selamat. Kunamai Wirabhumi, yang berarti pahlawan penyelamat bumi. Kelak dia akan bahu membahu bersama saudarinya menyelamatkan Majapahit dari segala mara bahaya.  

HARI RAYA DISKIP AJA!

 


HARI RAYA DISKIP AJA!

 

            Tahun 2022 ini tahun kedua hari raya tanpa ibu dan tahun keenam tanpa bapak bersama keluarga. Lengkaplah sudah. Orang tua tak ada, mertua pun tak ada. Dan akhirnya, momen hari raya serasa hampa.

            Bagi saya, hari raya itu event berkumpul keluarga yang sangat menyenangkan, setelah setahun tak bertemu dan hanya berkirim kabar lewat dunia maya. Bersalaman dan sungkem meminta maaf pada ibu dan bapak selepas salat id. Setelah itu bersalaman dengan sesama saudara. Dilanjut dengan makan bersama. Lontong dan opor ayam, menu istimewa yang hanya nikmat disantap saat lebaran tiba.

            Dulu saat mertua masih hidup, saya selalu bergantian menghabiskan hari raya di rumahnya. Jika tahun ini di rumah mertua, maka tahun depan di rumah orang tua saya. Beda keluarga, beda tradisinya. Namun itulah yang justru membuat kangen momen ini.

            Dan kini, saat mereka semua tak ada, rasanya tidak penting perayaan ada hari raya? Hanya mengingatkan pada hadirnya orang tua yang telah tiada. Yang ada nanti malah derai air mata.

            Saat masih ada ibu dan bapak dulu, saya selalu menyambut hari penting ini dengan persiapan yang paripurna. Mulai dari membersihkan rumah hingga ke sudut-sudutnya. Juga belanja kue-kue lebaran. Belum lagi beli baju baru untuk semua anggota  keluarga bersama ibu. Ritual-ritual seperti orang kebanyakan. Memenuhi toko, berjejalan, macet, dan lainnya sambil berpuasa, dulu hal yang sangat biasa.

            Sekarang saya merasa buat apa beli baju baru, buat apa memesan kue, ataupun membersihkan rumah sampai malam hari, jika esensi dari hari raya itu tak lagi saya jumpai. Ya. Bagi saya ruhnya hari raya adalah momen dengan orang tua. Dan sekarang mereka semua telah pergi menghadap-Nya. Semoga rajutan doa bisa mengurai rindu saya pada mereka.

             

Jumat, 22 April 2022

TEMPIAR KASIH - Bag 27


 

PoV Sri Sudewi

 

            Aku tak tahu lagi harus berkata apa. Jika semua sudah ketahuan begini, apalah guna. Dan lagi aku tak ada yang membela. Maksud hati semua kulakukan demi rasa cinta. Tapi jika ternyata yang kudapat hanya nista, utuk apa aku lanjutkan hidup di dunia. Berarti aku harus menyerah pada kata pujangga. Bahwa cinta itu tak harus bersanding dengannya. Aku  bisa apa jika itu melawan takdir semesta.

Kamis, 21 April 2022

TEMPIAR KASIH - bag 26

 


Aku harus melakukan sesuatu. Sri Sudewi memang harus diberi pelajaran. Jika tidak, dia akan semakin bertindak tak karuan. Apabila aku tidak tegas mengambil sikap, maka di kemudian hari dia akan semakin kalap. Haus kekuasaan, haus kasih sayang.

            Mungkin ada benarnya usul Paman Ndaru. Tapi apakah harus se-ekstrim itu? Pengasingan? Hal ini berarti diusir, dibuang. Apa kata keluarga dan rakyat nanti? Permaisuri kok sampai diasingkan. Pastilah dia berbuat salah yang tak biasa. Kesalahan apa yang membuat dia diusir jauh dari istana? Ah, pusing aku dibuatnya.

            Mungkin aku akan menjalankan opsi kedua.  Aku berencana bicara dulu dengan Sri Sudewi. Jika dia mengakui semua perbuatannya, maka aku akan mengampuninya. Namun dengan satu syarat. Dia tak boleh lagi berurusan dengan kerajaan, terutama dalam hal pemerintahan. Aku tak akan lagi mengijinkan dia ikut serta dalam kegiatan kenegaraan.

            Ataukah opsi ketiga? Dia kuminta mengundurkan diri dari posisinya sebagai permaisuri. Dia harus melepas semua keterlibatannya dalam urusan pemerintahan. Dan mensyiarkan bahwa dia ingin menjadi biksuni, mengisi sisa hari dengan mendekatkan diri pada Sang Hyang Widi, di Sendiki. Dengan alasan begitu, dia akan lebih terhormat di mata rakyat.

 

**

 

            “Dinda Sudewi,” panggilku saat sampai di pintu bilik ruangannya. Yang dipanggil hanya mengangguk sambil menunduk. Kami duduk berdua di kursi kayu ruang tengah.

            “Jadi begini, Dinda. Apakah kau telah minum rebusan dedaunan dari Paman Sora?”

            Dia mengangguk.

            “Aku juga menemui Paman Kebo Ireng. Kau tentu tahu dia siapa.”

            Kali ini dia agak sedikit kaget.

            “Dengarkan. Aku hanya minta kejujuran. Aku akan memaafkanmu jika kau tak bohong padaku.”

            Takut-takut dia menatapku, seakan ketahuan belangnya.

            “Apakah benar, kau yang mengirim teluh untuk Ayana?”

            Kaget bukan kepalang rupanya Sudewi mendengarku bicara blak-blakan seperti ini. Pelan dia mengangguk.

            “Apakah kau tahu, mengapa kau tiba-tiba tak bisa bicara?” 

            Menggeleng pelan. Dia hanya diam.

            “Baiklah akan kukatakan semuanya. Kau kirim guna-guna pada Ayana. Tapi teluhmu tak mengenainya. Dan akhirnya berbalik arah kena si empunya. Kau tahu ada apa sebenarnya di tenggorokanmu? Itu adalah botol kaca kecil yang hancur berkeping-keping. Seluruh bagiannya tersangkut di tenggorokanmu. Jadi itulah sebabnya mengapa kau tak bisa bersuara.”

             

Rabu, 20 April 2022

TEMPIAR KASIH - Bag 25

 

Bagian 25

  


MELAHIRKAN ANAK PEREMPUAN

 

PoV Hayam Wuruk

 

            Usai berpamitan pada Paman Ireng, aku memacu kudaku kembali ke istana. Aku berpikir keras, bagaimana cara mencari solusi dari masalah ini.

            “Yang Mulia raja, kalau boleh hamba memberikan saran, simpan masalah ini dalam-dalam. Tutup rapat-rapat. Pikirkan dengan jernih solusinya. Jangan sampai menyakiti salah satu pihak. Ingat, kedua istri Baginda sedang hamil tua. Tak baik untuk janin yang dikandungnya. Bagaimanapun juga, bayi-bayi ini nantinya pewaris tahta.” Pesan Paman Ireng. 

            Aku semakin bingung dibuatnya. Apa yang harus aku lakukan pada Sri Sudewi? Disatu sisi, statusnya adalah permaisuri. Aku kadang membutuhkan bantuannya dalam pemerintahan. Kuakui, dia wanita yang hebat di bidang itu. Dia juga belajar dengan cepat. Diplomasinya bagus. Komunikasinya jempolan.

            Disisi lain, aku sangat mencintai Ayana. Bersamanya aku bisa mengaruhi samudera kehidupan setelah kepergian Dyah Pitaloka. Apalagi aku baru tahu bahwa Ayana berlatar istimewa.

            “Baginda Raja, izinkan hamba menyampaikan saran,” Paman Ndaru, penasihat istana, berkata.

            “Silakan, Paman.”

            “Bagaimana kalau Paduka melakukan hal yang sama seperti Gajah mada?”

            “Maksud Paman?”

            “Bicaralah pada permaisuri. Katakan anda telah mengetahui semuanya. Yang Mulia mengampuninya dengat syarat, dia harus bersedia melakukan ritual “Pembersihan Diri” di daerah Sendiki, Malang Selatan, selamanya.


TEMPIAR KASIH - Bag 24

 

Bagian 24

 


 

 

MURKA RAJA

 

PoV Hayam Wuruk

 

            “Yang Mulia, permaisuri Paduka Sori  mencari Baginda,” kudengar suara pengawal di depan pintu kamar.

            Tak biasanya Sri Sudewi mencariku. Ada apa? Tak pernah sekalipun dia membutuhkan aku. Dia hanya menemuiku jika ada sesuatu hal yang diinginkannya. Bahkan usia kehamilannya yang mulai menua tak  sedikitpun membuat dia kelelahan. Seperti baterai energizer saja.

            “Ka..Ka...,” ucapnya gagap saat aku membuka pintu.

            “Iya ada apa, Dinda?” Seribu tanya berputar di kepalaku mendengar dia tak lancar bicara.

            “Ka...Kang...Mas...Ra...Ra..ja...A...a...ku...” dia panik sambil memegang lehernya.

            “Berhenti bicara! Pengawal! Lekas panggil tabib istana! Suruh datang saat ini juga ke bilik Paduka Sori. Sekarang!!!” segera kuperintahkan pengawal ke Paman Sora, tabib istana.

            “Dinda, mari kita ke ruanganmu,” kuajak Sri Sudewi kembali ke kamarnya.

            Tak seberapa lama kemudian tabib datang dan memeriksa nadi Sri Sudewi.

            “Tak ada hal yang aneh, Yang Mulia. Semuanya baik. Kondisi permaisuri bagus. Janin yang dikandungnya juga sehat,” Paman Sora berkata.

            “Tapi kenapa dia tak bisa bicara, Paman?” aku semakin penasaran.

            “Mungkin permaisuri mengalami Insidental Stuck, Baginda. Kondisi tiba-tiba yang membuat orang tak bisa bicara. Hamba akan coba rebus beberapa dedaunan untuk obatnya. Ditambah dengan beberapa hari istirahat, permaisuri akan segera pulih. Baiklah, hamba undur diri dulu,” lanjut tabib Sora.

            “Baiklah, kamu boleh pergi, Paman Sora. Terima kasih atas bantuanmu.” aku mengantar kepergian Paman Sora hingga ke pintu.

            “Yang Mulia, kalau boleh hamba menyarankan, bertanyalah pada Kebo Ireng, dukun istana. Saya curiga penyakit permaisuri ada kaitannya dengan ilmu hitam,” sambil berjalan beriringan, setengah berbisik Paman Sora berkata sembari melirik kiri kanan, seperti takut terdengar orang lain.

            Hemmm...Ada apa lagi ini? Permaisuri diguna-guna? Mengapa? Siapa? Seribu tanya segera bergelayut di pikiranku. Aku sungguh tak suka jika berhadapan dengan masalah yang tak bisa diurai dengan logika.

            “Pengawal! Siapkan kuda! Ikuti aku!” Kuperintahkan beberapa pengawal mengikutiku.

            Aku segera memacu Si Putih, kuda kesayanganku. Kami mengendarai kuda menuju daerah Selatan, menuju kediaman Paman Kebo Ireng. Dia adalah dukun kerajaan sejak era ibuku, ibunda ratu Tribuana Tunggadewi, memerintah Majapahit ini.

            “Paman Ireng, ada sesuatu hal yang ingin kutanyakan padamu,” ucapku saat dia menyambut kedatanganku.

            “Siap, Yang Mulia. Hamba sudah mengetahui maksud kedatangan Paduka Raja. Kita bicara di dalam, Baginda. Silakan.” Paman Ireng memilin kumisnya sambil menatapku tajam, memperilakan aku masuk.

            Sejenak aku lupa bahwa dia adalah Paman Kebo Ireng, dukun istana, yang terkenal sakti mandraguna. Tentu saja dia tahu segala hal tanpa kita mengatakannya.

            “Sri Baginda, hamba akui. Yang Mulia sungguh cerdas sekali. Buktinya, anda langsung datang kesini. Yang anda pikirkan memang benar. Permaisuri terkena guna-guna.”

            “Siapa yang berani melakukannya, Paman?” Emosiku sudah sampai ke ubun-ubun. Kurang ajar sekali dia berani mengganggu anggota keluarga kerajaan.

            “Sabarlah, anakku. Dengarkan dulu penjelasanku. Ini sebenarnya adalah ulah dari permaisuri sendiri. Awalnya, dialah yang mengirim teluh untuk Ayana, selirmu. Tapi karena Ayana ini bukan wanita biasa, guna-guna ini berbalik arah mengenainya.” Panjang lebar Paman Ireng mengurai masalah ini.

            Aku hanya bisa menghela napas dalam dan menepis emosi. Siapa yang menyangka, bahwa Sri Sudewi ingin menyingkirkan Ayana? Bertemu muka saja mereka tidak pernah. Menyapa apa lagi.

            “Paduka, apakah anda tahu? Ayana itu ilmunya bahkan hampir menyamaiku. Dia menguasai ilmu “Mantra Sakti Sukma” yang tak sembarang dikuasai manusia. Bahkan seorang raja besar seperti anda, bukan tandingannya. Jadi jangan pernah merehkan Ayana, meskipun statusnya hanyalah “selir raja.” Selama ini dia menyembunyikan semuanya dari Yang Mulia. Namun satu hal yang hamba tahu pasti. Ilmu Ayana adalah ilmu putih. Artinya, dia wanita yang baik. Jangan mengecewakannya. Sebab jika dia sakit hati, sekali saja, maka Majapahit akan binasa.”

            Aku hanya mampu terbengong-bengong saja mendengar penuturan Paman Kebo Ireng. Sungguh, aku tak pernah menyangka Ayana berlatar belakang istimewa. Dan aku terkejut bukan kepalang, saat tahu bahwa permaisuri sendiri yang memulai semua ini. Mendidih rasanya darahku. Sri Sudewi! Akhirnya kau menampakkan wajahmu yang asli! Dia yang menabur angin, maka aku akan hempaskan badai di hidupnya!


TEMPIAR KASIH - Bag 23

 

Bagian 23

 


SIAPA MENABUR ANGIN AKAN MENUAI BADAI

 PoV Sri Sudewi

 

          Dayang Manu sudah tujuh hari ini pergi melaksanakan perintahku. Bersama beberapa pengawal kepercayaan, ia menuju Banyuwangi, ke rumah dukun sakti. Semua bekal yang diperlukan telah dipersiapkan. Diantaranya yaitu 7 ekor ayam jantan hitam, kembang 7 rupa yang dipetik dari Alas Purwo (hutan angker di Banyuwangi), dan 7 macam dupa.

          Aku menunggu kedatangan mereka dengan perasaan was-was. Hatiku dipenuhi kekhawatiran, apakah Manu berhasil dalam misi atau malah kandas di tengah jalan.

          Hari ke delapan. Manu datang dengan wajah berseri-seri, menandakan kesuksesan misi kami. Dewa keberuntungan memang sedang memihak padaku. Hanya tinggal menunggu waktu, kapan teluh itu akan dikirimkan pada maduku. Rasakan kau, Ayana! Pergilah kau ke neraka! Hahaha... 

          Kamis malam jum’at legi tiba. Aku berdebar menunggu peristiwa gempar yang akan terjadi. Manu membawa pesan dari Mbah Suketi, si dukun sakti, kalau dia akan beraksi malam ini. Menjelang tengah malam, mataku semakin terjaga. Aku menajamkan telinga, ingin tahu akan ada apa. Aku dan Manu bersembunyi di balik pohon kamboja rindang yang dekat dengan bilik Ayana.

          Tengah malam telah lewat. Aku melihat Kangmas Raja dan Ayana bergandengan mesra berjalan melalui koridor istana. Darimana mereka berdua malam-malam begini?

          “Yang mulia Paduka Sori, apakah sudah tahu? Tiap kamis malam jum’at mereka berdua melakukan ritual sembahyang di Candipura. Jadi, pasti kali ini juga dari sana,” kata Dayang Manu berbisik di telingaku.

          Tak lama setelah itu, kulihat bola api terbang secepat kilat menuju atap bilik kamar Ayana. Bola api itu pecah tiba-tiba dan segera hilang tak bersisa begitu ia tepat diatas atap genteng Ayana! Mission complete!

          Aku puas dengan kerja Mbah Suketi. Pelan tapi pasti.  Aku hanya tinggal menunggu esok hari. Aku dan Manu mengakhiri pengintaian dan kembali ke kamar. Akhirnya malam ini aku bisa tidur dengan tenang. Aku memejamkan mata dan langsung terbang ke awang-awang.

          Pagi hari tiba. Kulihat cahaya matahari sudah terang saat kubuka mata. Aku bangun kesiangan ternyata. Kemana Dayang Manu? Kenapa dia tak membangunkanku.

          “Ma...nuuu!!! Ma...nuuu! Ma...,” suaraku... kenapa dengan suaraku?  Sudah kuteriakkan nama Manu sekuat tenaga, tapi kenapa kedengarannya malah seperti orang gagap yang bersuara?

          Aku panik seketika. Segera aku turun dari peraduan dan mengaca. Kuperiksa leherku. Terlihat biasa saja. Tapi kenapa aku tak bisa bersuara? Aku pontang-panting mencari Dayang Manu ke segala penjuru ruanganku. Namun Manu tak kunjung ketemu. Kurang ajar sekali dia berani menipuku!

Minggu, 17 April 2022

TEMPIAR KASIH - Bag 22

 

Bagian 22

 


Mantra Sakti Sukma

 

PoV Ayana

 

            Aku Ayana, dari Kerajaan Melayu. Aku berada jauh dari sanak keluarga. Dikirim ke bumi Majapahit sebagai hadiah cuma-cuma. Tak mungkin aku berangkat tanpa membawa bekal apa-apa. Ayah ibuku bahkan menjejali bajuku dengan puluhan mantra. Belum lagi Sri Baginda. Beliau telah menyiapkan kepergianku dengan jurus “Ngrogoh Sukmo” pula. Dan salah satu dari sekian banyak bekalku adalah “Mantra Sakti Sukma,” rapalan jurus penyelamat diri.

            Bola api yang pecah berhamburan di atas atap kamar tengah malam itu adalah teluh yang ditujukan padaku. Beruntung aku belum lelap saat itu. Jika aku sudah tidur, maka bisa dipastikan, aku terkena santet.

            Segera kurapal “Mantra Sakti Sukma” disetiap sudut kamarku. Keliling dari pojok satu ke pojok lainnya, memagari wilayahku dengan mantra-mantra penyelamat. Sisa malamnya kugunakan untuk bersemedi di ruangan pribadi. Kubuka indra ketujuh, untuk mengetahui siapa biang keladi dibalik semua ini. Tak butuh waktu lama, aku bisa melihatnya. Bahwa Dayang Manu  mengendara kuda dari rumah seorang dukun sakti di daerah Banyuwangi. Siapa lagi yang mengutus Dayang Manu kalau bukan boss ratu? Heemmm... ternyata ini arti senyumannya selama ini. Senyuman yang mengandung sejuta makna. Senyumaan licik dan kejam.