Sekolahku Almamaterku 2
Cerita duka bermula dari rumah jamur. Eh, bukan duka ya, kok ga pas rasanya kalo dibilang duka. Mungkin lebih pas dikata pengabdian.
Tahun 2009, tepatnya setahun setelah saya menginjak bumi almamater, saya diberi amanah sebagai pembina Pokja jamur. Pokja satu ini bisa dikatakan satu-satunya Pokja yang paling produktif menghasilkan produk dibanding Pokja yang lain.
Menjadi pembina Pokja jamur bukan hal yang mudah. Rumah jamur yang kosong, harus disiapkan dulu kelembapannya agar nanti saat bag log (media tanam) jamur tiram datang, mereka tidak kepanasan. Bagaimana caranya? Mengaliri lantai pasir dengan air secara rutin setiap hari pastinya. Saat pergantian jam mengajar, saya sempatkan ke rumah jamur sekadar untuk memindah posisi selang air. Sebelah kiri sudah cukup, sekarang ganti sisi kanan. Begitu seterusnya.
Memasuki rumah jamur sepatu harus dibuka, ganti alas kaki memakai terompah. Mengapa? Karena lantainya yang berpasir penuh air, jika tak pakai terompah, maka sepatu akan basah dan kotor.
Kembali ke tahap selanjutnya. Berikutnya adalah pemesanan bag log. Sekolah kami tidak membuat sendiri media tanam karena keterbatasan alat. Namun saya tetap memberikan penjelasan kepada siswa yang tergabung dalam Pokja jamur, dulu siswa ekstra kir, tentang teori pembuatan media tanam tersebut. Saya menghadirkan guru biologi yang kebetulan punya usaha rumah jamur di rumahnya.
Beberapa hari setelah pemesanan, bag log pun datang. Saya dan anak-anak berjibaku mengusung bag log dari mobil pickup menuju rumah jamur dan menatanya di rak-rak jamur. Masih saya ingat waktu itu antusiasme anak-anak saat membantu karena gorengan dan es teh sekontainer besar telah menanti. Lalu saya juga mengajak makan dikantin setelah selesai gawe.
Setelah bag log datang, tiap hari saya juga harus tetap menjaga kelembapan. Semua berlangsung hingga 3-4 Minggu, menunggu micellium tumbuh. Saat seluruh permukaan bag log tertutupi micellium yang berwarna putih maka ujung kapas siap dibuka. Jamur siap tumbuh.
Seminggu setelah kapas dibuka, muncullah bayi-bayi jamur yang lucu dan imut. Tiga hari kemudian, jamur tiram sudah tumbuh sebesar telapak tangan. Warnanya putih segar. Tergantung cuaca juga sih sebenarnya. Musim hujan seperti ini cocok banget untuk pertumbuhan si jamur.
Waktunya panen, waktunya kerja. Jam mengajar yang padat membuat saya tak kewalahan memanen jamur tiram. Meskipun sudah dibantu pesuruh, tetap saja tak bisa mengatasi, apalagi kalau sudah panen raya. Pernah saat seharian jam kosong, waktu itu ada ujian, saya kebetulan tidak menjadi pengawas, saya panen jamur dari jam 7 hingga sore jam 3. Wah...wah...capek ga sih???
Memanen jamur tidaklah sesederhana yang dipikirkan. Mulai dari memetik, membuang bonggol dengan cara mengguntingnya, lalu menimbang, memasukkan ke plastik, menyealer, memasukkan label, menyealer lagi. Itu untuk per 200 gram nya. Saat panen raya, jamur bisa sampai 2 bak besar. Mangkanya, hingga jam 3 sore belum kelar. Apalagi kerja sendirian. Alamakkk...
Selesailah???
Belum donkkk...
Masih ada tahap berikutnya yaitu pemasaran. Saya harus putar otak bagaimana caranya semua jamur itu laku. Saat ada siswa jam kosong, saya datangi kelasnya. Saya ajak beberapa siswa untuk membantu menjualkan jamur door to door ke kelas-kelas. Sementara anak-anak jualan, saya kembali ke rumah jamur melanjutkan panenan. Alhamdulillah saya rata-rata mengajar siswa di kelas X, yang lokasinya dekat rumah jamur. Hal ini membuat anak-anak mudah saya minta tolong untuk memasarkan, meskipun ada sedikit bagi hasil. Yang penting laris.
Tak jarang, saat liburan, tak ada satupun orang yang datang ke sekolah. Padahal panen jamur melimpah. Akhirnya semua jamur itu saya yang memanen sendiri, saya beli sendiri, saya bagikan ke tetangga. Dan ini berlangsung selama 13 tahun. Bayangkan, tiga belas tahun pengabdian dinrumah jamur.
Kenapa tidak dipiket dengan siswa? Yaaa.... Yang namnya anak-anak, apalagi liburan sekolah, kadang ada yang datang, kadang tidak. Lebih sering tidak malah. Nasib...oh...nasib...
Saat liburan kadangkala beberapa guru yang sedang piket ikut menemani dan membantu. Juga sahabat-sahabat yang tahu lagi dimana saya, pasti akan langsung menuju ke rumah jamur di pojok bangunan sekolah yang terpencil itu.
Tantangan baru untuk inovasi produk jamur pernah saya lakukan. Saat itu saya bekerja sama dengan seorang teman yang punya usaha pentol. Saya meminta tolong padanya untuk dibikinkan pentol jamur. Alhamdulillah dia bersedia membantu. Saat menjual pentol, teman ini juga berbaik hati membuatkan saus kacang. Saya sangat bersyukur karena sudah dibantu.
Menjual pentol saus kacang pun ternyata tidak sesederhana yang saya kira. Beruntung teman yang lain mau membantu menjualkan di tempatnya berdagang. Satu biji pentol atau tahu pentol harga nya 500 rupiah. Dengan bumbu saus kacang, anak-anak berebutan membelinya. Alhamdulillah..
Namun dibalik larisnya pentol jamur, saya juga menerima hujatan yang tak kalah pedasnya. Ada yang bilang, kalau anak-anak makan pentol jamur nanti bisa gagal ginjal karena tak ada minumnya. Hujatan lain pun datang silih berganti bertubi tubi. Yang kusesali, semua hal negatif itu datangnya justru dari para pejabat. Ya Allah padahal saya tidak ambil keuntungan sepeserpun dari sana. Selama itu pula tidak ada yang namanya honor pembina Pokja. Saya hanya mencoba bagaimana cara agar jamur yang tidak terjual di hari itu, dapat disimpan dengan aman tanpa takut basi. Jika disimpan berupa pentol, maka di freezer dia akan aman hingga berminggu-minggu Minggu.
Inovasi produk yang lain pernah saya coba pula. Beruntung saat itu ada teman yang resign dari pekerjaannya sehingga saya bisa minta tolong untuk dimasakkan nasi bakar jamur. Awalnya laris. Namun kembali lagi jika tidak habis maka saya harus membelinya sendiri karena nasi bakar tak bisa disimpan di freezer. Beda dengan pentol.
Ada lagi inovasi pepes jamur yang lumayan mendapat tempat di hati konsumen. Namun sama. Jika tidak habis maka kembali ke pasal semula.
Jika saja saya tidak ingat pada almamater, sudah saya tinggalkan pekerjaan yang tidak ada uangnya itu. Namun saya tetap tidak tega, tidak bisa meninggalkan bayi-bayi jamur yang lucu. Mereka sudah seperti anak saya sendiri. Sampai pernah suami berkata, ya kamu harus tega, sampai kapan kamu akan disana, suruh ganti orang lain saja.
Pelajaran yang bisa saya ambil selama 13 tahun tak bisa saya beli dimanapun. Disana saya belajar arti kesabaran, pengorbanan, sendirian, manajemen pemasaran, wirausaha, inovasi, dan masih banyak lagi.